Ventje Sumual: Tentang Kemampuan Konsolidasi Soeharto
VENTJE SUMUAL : PERJALANAN ORLA DAN ORBA (Bag.35)
Hari-hari setelah terjadinya kudeta gagal Gerakan 30 September itu, kami semua tahanan politik di RTM mulai diliputi perasaan suka. Tidak saja karena kebanyakan diantara kami langsung berfikir tentang datangnya saat kebebasan, lepas dari tahanan ini, tapi terutama karena pihak-pihak yang memusuhi kami, yang memenjarakan kami, merekalah sekarang yang terbukti melakukan kesalahan besar. Mengkhianati bangsa, dan mereka sedang dihantam oleh kawan-kawan kami.
G30S/PKI Membantai Yani dkk. Ucapan Saleh Lahade Menjadi Kenyataan
Semua yang selalu ulang-ulang saya katakan, bahwa tujuan PKI selalu pasti akhirnya akan mengambil alih kekuasaan negara dengan segala cara. Dalam penjara dulu, saya sempat membuat tulisan/jurnal tentang ini dan metode serta cara-cara mereka mengambil alih kekuasaan, sudah saya kirimkan ke MBAD, diteliti oleh staf di SUAD, tapi ndak ada tindak lanjutnya, dan sekarang terbukti. Korban sudah berjatuhan, yaitu pucuk pimpinan TNI-AD sendiri.
Saya jadi teringat ketika Achmad Yani dan Nasution menyalahkan saya dan Letkol M. Saleh Lahade karena memproklamasikan Permesta 1957. Mereka merasa benar, dan merasa menang atas kami. Sampai-sampai Saleh Lahade hanya bisa berkata, "Terserah saja...kalau bapak-bapak mau digantung oleh PKI...lihat saja nanti!"
Dan itulah pula yang sayang sekali, harus terbukti. Jenderal Yani dibantai, Nasution dapat meloloskan diri, tapi putri kesayangan dan ajudannya menjadi tumbal.
Pucuk pimpinan dari kalangan tentara yang sejak awal sudah tegas mengarahkan laras senjatanya terhadap PKI dan kekuasaan yang melindungi PKI, pun adalah teman yang sehaluan dengan kami. Mayjen TNI Soeharto, Panglima Kostrad, dia bersama saya saat merancang pembenahan dalam kepemimpinan TNI-AD yang waktu itu dipegang oleh Nasution bergandengan dengan penguasa pro-PKI.
Waktu nama Soeharto pelan-pelan muncul ke permukaan sejak hari-hari pertama kudeta gagal Gestapu, banyak orang yang tidak tahu tentang dia. Juga umumnya teman-teman dalam tahanan di RTM. Soeharto memang tidak seperti nama-nama jenderal lainnya yang biasa tampil dalam koran-koran dan juga dunia politik. Saya pun langsung cerita ke teman-teman tentang Soeharto ini. Saya yakinkan tentang kemampuan Soeharto. Kemampuan dan ketenangannya yang secara cepat dan tepat mengkonsolidasi garis komando ditengah-tengah suasana galau, sebagaimana saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948, begitu juga lah yang ia kerjakan hanya dalam beberapa jam tanggal 1 Oktober 1965 itu. Saya cerita bagaimana kami dulu di Jogja melakukan serangan-serangan umum yang berpuncak pada SU 1 Maret 1949. Teman-teman di RTM sekarang jadi menaruh harap pada kepemimpinan serta keberhasilan Soeharto.
Pada jam-jam yang paling menetukan di hari Jumat 1 Oktober 1965 itu, Soeharto dengan cepat telah mampu mengambil kendali atas tentara di ibukota. Ia mengandalkan pasukan Kostrad dan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Pangdam Jaya, Mayjen Umar Wirahadikusumah pun tidak sempat ditarik oleh pihak lawan karena ketika Presiden Soekarno memangilnya ke Pangkalan Halim Perdanakusumah, Soeharto mencegahnya, dan Soeharto maupun Umar menyangka bahwa Soekarno disana sedang disandera sehingga pergi ke Halim berarti amsuk jebakan. Sekarang Letjen Soeharto sudah menjabat Menteri/ Panglima Angkatan Darat, sehingga semakin mantap langkah-langkah konsolidasinya maupun operasi menghantam musuh. Sedangkan Umar diangkat menjadi Panglima Kostrad.
Pemimpin militer lain yang aktif bersama Soeharto adalah Brigjen Kemal Idris dan Kolonel Sarwo Edhie. Mereka pun saya anggap "bukan orang lain". Kemal yang menjabat Pnglima Komando Tempur 1 Kostrad dibawah Soeharto, ia juga ikut dulu dalam gerakan Zulkifli Lubis menentang Nasution tahun 1956, gerakan yang makin meruncing sejak Alex Kawilarang menangkap Menteri Ruslan Abdulgani atas tuduhan korupsi. Kemal sobat Kawilarang sejak lama. Kekuatan kelompok Soeharto pun semakin bertambah sejak mereka dapat mengusahakan pengangkatan Brigjen HR. Dharsono menjadi Pangdam Siliwangi pada awal April 1966. Dari dulu Siliwangi memang umumnya dipihak kami, mereka sangat anti-PKI.
Dalam kacamata analisis saya, langsung terbaca bahwa peran intelijen sangat besar mengarahkan langkah-langkah politik dan operasi Soeharto dkk. Saya kenal betul Soeharto. Meski ia seorang strateg, penuh inisiaif, dan selalu bertindak cepat, patuh hirarki, namun selalu harus konstitusional. Sementara yang saya amati, langkah-langkah politik dan strategi mereka selalu mendahului dan rapi. Saat memikirkan cara-cara kerja mereka, nama Ali Moertopo langsung masuk dalam pemikiran saya. Ia rupanya orang kepercayaan Soeharto sejak lama, sejak Soeharto masih Pangdam Dipenegoro lagi, jadi saya pikir ya "orang kita " juga.
Secara formal Ali Moertopo bukanlah orang teratas di jajaran intelijen Kostrad, tapi ada tugas khusus yang dilimpahkan oleh Soeharto selama ini. Ali bertanggungjawab langsung pada Soeharto, dan sukses. Sehingga tugas-tugas itu - tugas intelijen yang berkaitan dengan urusan politik - terlembaga terus. Itulah Operasi Khusus atau Opsus.
Kelak setelah saya aktif bekerjasama dengan Ali Moertopo, menjadi jelaslah apa yang saya analisa tentang luar biasanya kerja intelijen mereka diawal penumbangan rezim Orde Lama. Misalnya, ketika mereka mengatur siasat yang dimulai dengan mengerahkan pasukan tanpa lencana mengepung Istana Presiden. Ali yang rancang. Itu adalah pasukan RPKAD, tapi dibawah kendali Kemal Idris langsung dari Kostrad. Surat Perintah 11 Maret menjadi klimaks dari operasi-operasi intelijen mereka. Sungguh-sungguh strategi intelijen yang sangat ampuh dan rapi, tetap konstitusional.
Tanggal 26 Juli, sehari setelah Presedium Kabinet dipegang oleh Soeharto, pagi-pagi sudah datang surat pembebasan kami. Jaksa Adnan Buyung Nasution yang membawanya, dibagikan kepada kami satu persatu.
"Bapak-bapak sekarang bebas ya...Pulang! Sudah bebas. Bebas! "kata Jaksa Buyung dengan bersemangat. Ternyata Buyung juga memang sudah mulai bergiat dalam penumbangan rezim anti-demokrasi. Ia eksponen Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia. (*)
