News Breaking
Live
update

Breaking News

Benarkah Soeharto Pernah Ditampar Kawilarang?

Benarkah Soeharto Pernah Ditampar Kawilarang?



Oleh Hendi Jo


HARI ini Pak Harto berulangtahun yang ke-102. Seiring kepergiannya pada 27 Januari 2008, banyak hal yang selama dia berkuasa menjadi sesuatu yang “tabu” tetiba mengemuka. Termasuk isu sejarah tentang penamparan dirinya oleh sesepuh Siliwangi, Alex Evert Kawilarang.

Begitu kencangnya isu bertiup setiap zaman, hingga jika anda membuka halaman Wikipedia tentang sosok Alex Evert Kawilarang, maka anda akan menjumpai informasi tentang insiden tersebut.
Di kalangan pemerhati sejarah militer Indonesia, kisah itu selalu menjadi legenda. Kapan sejatinya isu itu mengemuka kali pertama? Saya pikir itu dimulai saat aksi menolak kembali pencalonan Jenderal (Purn) Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1978-1983. Saya sendiri sempat membaca soal itu dalam sebuah arsip selebaran gelap tahun 1977, berjudul “Manifesto Mahasiswa ITB atas Kekuasaan Soeharto”.

Diceritakan suatu hari di tahun 1950, Kolonel Alex Evert Kawilarang (Panglima Operasi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat untuk Indonesia Timur) menampar Letnan Kolonel Soeharto (Komandan Brigade Garuda Mataram yang tengah ditugaskan di Sulawesi Selatan). Pasalnya, dia tak suka melihat kelakuan pasukan Soeharto yang alih-alih bertempur dengan para pemberontak pimpinan Andi Azis, malah merampoki harta orang-orang Bugis.

Anehnya, Kawilarang dan Soeharto sendiri tak membahas secuilpun kejadian penting itu di buku otobiografi masing-masing. Dalam buku Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH), Kawilarang malah justru menulis secara positif tentang peran militer Soeharto saat bertugas di Sulawesi Selatan. Begitu juga dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (disusun oleh G.Dwipayana dan Ramadhan KH), mantan penguasa Orde Baru itu sama sekali tidak menuliskan soal perseteruannya dengan Kawilarang.

Apakah mereka sengaja tidak menceritakan insiden itu demi menghindari perasaan masing-masing? Mungkin saja.

Tahun 1999, saya pernah “mencegat” Kawilarang di pintu keluar aula Manggala Wanabakti, Jakarta sewaktu dia usai mengikuti peluncuran buku Indonesia Memasuki Milenium III: Gagasan dan Pemikiran Edi Sudradjat. Dalam wawancara door stop itu, saya tanyakan soal kasus penamparan tersebut.

“Kau dapat berita itu dari mana?” tanyanya sambil tertawa lalu ngeloyor pergi begitu saja.

Aloysius Sugianto, eks ajudan Letnan Kolonel Slamet Rijadi memiliki cerita sendiri soal isu itu. Syahdan,  Agustus 1950, Aloysius dan Slamet Rijadi sempat bertemu dengan Kawilarang dan Soeharto, saat pasukan Slamet yang ditugaskan menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) singgah terlebih dahulu di Pelabuhan Makassar.
Waktu itu, Aloysius sempat menyaksikan para prajurit Brigade Garuda Mataram sedang siap-siap pulang ke Jawa lewat Pelabuhan Makassar. Mereka membawa begitu banyak barang yang diduga hasil rampasan perang.

“Yang saya tahu, soal barang-barang itu, Kolonel Kawilarang sempat merasa tidak suka dan menegur keras Pak Harto,” ujar eks anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang pernah juga menjadi ajudan Kawilarang.

Jauh sebelumnya pada 1980-an, Kawilarang pernah bilang kepada jurnalis asal Australia, David Jenkins,  bahwa dia memang pernah menegur keras Soeharto namun tidak sampai melakukan penamparan. Namun seorang saksi anonim yang juga dikutip Jenkins dalam bukunya Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983, menyebut bahwa sejatinya penamparan itu memang terjadi dan malah disaksikan secara langsung oleh M.Jusuf, seorang perwira Bugis yang kelak menjadi Panglima ABRI di awal-awal Orde Baru berkuasa.

"Kolonel Alex Kawilarang menampar Letnan Kolonel Soeharto karena kesalahan besar yang dibuat oleh pasukan yang dipimpin Soeharto," tulis sumber Jenkins itu.

Dalam majalah Tempo edisi 10 Mei 1999, kepada jurnalis Kelik M. Nugroho, Kawilarang  malah terang-terangan menyangkal cerita soal penamparan tersebut. Dia menyebut isu itu baru mengemuka sejak tahun 1970-an dan dia sendiri tak tahu itu berasal dari mana.

“Wah, itu tidak benar. Saya tidak tahu mereka memutarbalikan cerita itu,” ujarnya.

Ketika soal ini dikonfirmasikan kepada Letnan Jenderal (Purn) Sajidiman Suryohadiprodjo pada 2019, eks wakil Kepala Staf Angkatan Darat  itu malah menganggap cerita tersebut sebagai bualan orang-orang yang hanya bermaksud mencari sensasi saja.

Bagi eks perwira Divisi Siliwangi yang mengenal baik Soeharto dan Kawilarang, di lingkungan Siliwangi sejak dipimpin A.H. Nasution hingga Ibrahim Adjie, tidak ada ceritanya panglima menampar anak buah. Terlebih orang yang ditampar itu memiliki jabatan yang tidak rendah: komandan brigade.

“Sebagai seorang perwira yang dididik dalam etika Barat, Kawilarang pastinya paham bahwa bersikap agresif secara fisik bukanlah cara yang benar dan bertentangan dengan sopan santun,” ujar Sajidiman.
Sebagai catatan, hubungan pribadi Kawilarang dengan Soeharto sendiri di masa-masa senja terbilang baik. Mereka kerap berkomunikasi dan saling berkabar.

Ada sebuah cerita dari Letnan Jenderal (Putn)  Yogie S. Memet (eks ajudan Soeharto dan mantan gubernur Jawa Barat), saat dirinya memberikan kabar Kawilarang tengah terbaring sakit di Bandung pada awal 1990-an, Soeharto nampak terperanjat.

Dalam kesempatan itu, Yogie juga menyatakan kepada Soeharto bahwa sebagai pejuang Perang Kemerdekaan Indonesia, Kawilarang belum mendapatkan Bintang Gerilya. Beberapa hari kemudian, Soeharto pun menganugerahkan Bintang Gerilya kepada Kawilarang saat dia masih terbaring di rumah sakit.

“Kalau tidak sakit, mungkin saya tidak akan mendapatkan itu (Bintang Gerilya),” ujar Kawilarang sambil terbahak.

Bisa dibayangkan jika benar Kawilarang pernah menampar Soeharto, maka hubungan mereka ketika tua tidaklah akan sehangat itu. Alih-alih memberikan Bintang Gerilya, yang ada Soeharto akan mengupayakan kolonel tua itu untuk masuk penjara, seperti yang dilakukannya terhadap Jenderal (Purn) Pranoto Reksosamodra pada 1967. (hendijo)

8 Juni 2023

Tags