Pemimpin di Tengah Bencana
oleh ReO Fiksiwan
“Kepemimpinan dalam bencana menuntut pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, dengan komunikasi yang jelas serta koordinasi lintas sektor.” —- Kepemimpinan Kolaboratif Pada Tanggap Darurat Bencana(2023), Dr. Abdul Haris Achadi, S.H., DESS(59).
Unggahan Dr. Dino Patti Djalal (60) di akun X (Twitter) tentang “9 Pelajaran Penting dari Tsunami 2004 untuk Penanganan Banjir Sumatra” membuka ruang refleksi mendalam mengenai bagaimana seorang pemimpin seharusnya hadir di tengah bencana.
Tsunami Aceh 2004 adalah tragedi yang menyingkap kelemahan sistem, sekaligus menuntut kepemimpinan yang tidak hanya simbolis tetapi substantif.
Dino, yang pernah menjabat Duta Besar RI untuk Amerika Serikat(2010–2013) dan Wakil Menteri Luar Negeri(2014) di era Presiden SBY(2009–2014), menekankan bahwa pelajaran dari bencana besar harus menjadi bekal untuk menghadapi krisis berikutnya.
Namun, kenyataan di lapangan sering menunjukkan performa tanggapan yang lamban, penuh pencitraan politis, dan minim evaluasi substansi.
Merujuk Warren Bennis(89) — Profesor emeritus di University of Southern California, konsultan organisasi, dan dianggap sebagai pionir studi kepemimpinan modern — dalam On Becoming a Leader (1989, edisi revisi 2009) menegaskan bahwa pemimpin tidak dilahirkan, melainkan dibentuk melalui pengalaman dan refleksi.
Bencana adalah ujian paling nyata bagi teori ini: seorang pemimpin diuji bukan oleh retorika, melainkan oleh kecepatan, empati, dan keberanian mengambil keputusan.
Menurut Margaret J. Wheatley (84) — dikenal dengan program Warriors for the Human Spirit dan kegiatan seperti webinar “Islands of Sanity” pada Agustus 2025 silam — dalam Leadership and the New Science (1992, revisi 2006) menekankan bahwa dunia penuh ketidakpastian menuntut pemimpin yang mampu membaca pola chaos sebagai peluang untuk membangun keteraturan baru.
Bencana banjir atau tsunami adalah bentuk chaos yang menuntut pemimpin untuk tidak sekadar mengatur birokrasi, tetapi menciptakan jaringan solidaritas yang hidup.
Sementara, William Vogt(1902-1968), Zoolog, ornitolog, ekolog, dan aktivis lingkungan, dalam Road to Survival(1948), yang sering dibaca sebagai refleksi tentang kepemimpinan natural, menekankan bahwa krisis lingkungan lahir dari kerakusan manusia dan lemahnya pengelolaan sumber daya.
Dalam konteks bencana di Sumatra dan meliputi Aceh, pemimpin yang natural adalah mereka yang mampu menanggalkan kepentingan politik sesaat dan hadir sebagai figur yang menyatukan masyarakat dengan kesadaran ekologis.
Juga, dalam Naturally Selected: The Evolutionary Science of Leadership(Alihbasa: Natural Leader: Mengapa Sebagian Orang Menjadi Pemimpin dan Yang Lain Menjadi Pengikut? (2009; Kakatua 2011), Mark Van Vugt(58) dan Anjana Ahuja(54), mengulas berikut: „Pemimpin muncul paling jelas pada masa krisis, ketika ketidakpastian dan bahaya menuntut arahan."
Menurut, Van Vugt, profesor psikologi di Vrije Universiteit Amsterdam, pakar psikologi evolusioner dan kepemimpinan maupun Anjana Ahuja(54), kolumnis dan jurnalis sains, menulis untuk Financial Times dan berbagai media internasional, menekankan bahwa kepemimpinan sejati sering lahir di tengah krisis.
Lanjut mereka, pemimpin bukan sekadar figur formal, melainkan sosok yang mampu memberi arah ketika ketidakpastian dan ancaman melumpuhkan banyak orang.
Dalam konteks bencana seperti tsunami Aceh atau banjir Sumatra, pandangan ini relevan sebagai kritik reflektif: pemimpin yang sejati tidak hadir untuk pencitraan, melainkan untuk mengurangi ketidakpastian, menyalurkan empati, dan menggerakkan sistem agar korban segera tertolong.
Selain itu, sembilan pelajaran yang diangkat Dino Patti Djalal dari tsunami Aceh seharusnya menjadi pedoman: pentingnya koordinasi lintas lembaga, kecepatan distribusi bantuan, transparansi informasi, kesiapan logistik, komunikasi yang empatik, keterlibatan masyarakat sipil, dukungan internasional yang terkelola, pemulihan psikologis korban, dan evaluasi berkelanjutan.
Namun, refleksi kritis menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, pemimpin lebih sibuk membangun citra di depan kamera daripada menggerakkan sistem yang menyelamatkan nyawa.
Pemimpin di tengah bencana bukanlah sosok yang hadir dengan pidato panjang atau kunjungan singkat, melainkan figur yang mampu mengubah tragedi menjadi momentum pembelajaran kolektif.
Ia harus berani menanggung kritik, menolak pencitraan kosong, dan menempatkan korban sebagai pusat perhatian.
Bennis mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah soal integritas, Wheatley menekankan pentingnya membaca chaos sebagai peluang, dan Vogt mengingatkan bahwa krisis lahir dari kegagalan manusia menjaga keseimbangan alam.
Refleksi atas banjir Sumatra dan tsunami Aceh menegaskan bahwa bencana adalah panggung ujian kepemimpinan.
Pemimpin sejati adalah mereka yang tidak hanya hadir di tengah lumpur dan reruntuhan, tetapi juga meninggalkan warisan berupa sistem yang lebih tangguh, masyarakat yang lebih siap, dan negara yang lebih jujur dalam menghadapi tragedi.
#coversongs: “We Are The World” adalah lagu amal yang dinyanyikan oleh supergrup U.S.A. for Africa yang drilis 7 Maret 1985.
Lagu ini dibuat untuk menggalang dana bagi penanggulangan kelaparan di Afrika. Komposer Michael Jackson(1958-2009) dan Lionel Richie(76) dengan produser Quincy Jones dan Michael Omartian.
Dampaknya, jadi salah satu lagu amal paling sukses dalam sejarah, dengan penjualan jutaan kopi dan mengumpulkan lebih dari 63 juta dolar AS untuk bantuan kemanusiaan.
