News Breaking
Live
update

Breaking News

Radio dan Biro Iklan yang Pergi Pelan-Pelan

Radio dan Biro Iklan yang Pergi Pelan-Pelan



Refleksi oleh Ekky Dirgantara

PERNAH ada masa ketika suara “dari Jakarta” jadi kabar yang ditunggu. Ketika biro iklan datang membawa pita rekaman, dan radio di daerah bersiap menyambut. Ada aroma bisnis, ada gairah siaran, ada napas panjang di antara jeda lagu dan spot iklan.

Kini, pita itu sudah tak datang lagi. Yang datang justru notifikasi: budget dialihkan ke digital.

Radio daerah kini hidup di antara dua zaman, satu sudah mati, satu belum sepenuhnya ia pahami.

Di satu sisi, masih ada studio, mikrofon, dan suara manusia yang setia menyapa. Tapi di sisi lain, algoritma telah mengambil alih perhatian manusia dengan presisi yang tak bisa disaingi oleh gelombang FM.

Biro Iklan yang Menghilang

Biro iklan dulu adalah jantung industri penyiaran. Mereka datang membawa harapan — kadang cuma spot lima belas detik, tapi cukup buat menyalakan listrik seminggu penuh.

Sekarang, biro-biro itu masih ada, tapi wajahnya berubah. Mereka bukan lagi orang-orang yang mengantarkan kaset, tapi dashboard digital yang menghitung klik, impresi, dan engagement rate.

Radio kehilangan hubungan personalnya dengan industri.
Yang dulu datang dengan senyum dan secangkir kopi, kini digantikan notifikasi otomatis yang dingin dan tanpa wajah.

Yang Bertahan dan yang Berubah

Namun radio seperti air selalu menemukan celah. Di beberapa kota kecil, radio masih jadi ruang publik terakhir yang bisa menyatukan pasar, kepala desa, dan anak muda yang iseng ikut kuis.

Radio lokal yang cerdas tak menunggu biro. Mereka menjual kedekatan. Mereka menawarkan kehangatan.

Sebuah toko emas lebih percaya pada penyiar lokal yang dikenal masyarakat daripada iklan banner di Instagram.

Mereka tidak menjual rating, tapi kepercayaan. Dan kepercayaan, di dunia yang serba instan ini, justru menjadi mata uang paling langka.

Dunia yang Tak Lagi Sama

Biro iklan tidak salah. Mereka hanya menyesuaikan diri dengan dunia yang lebih cepat, lebih data-driven, lebih kejam. Yang salah adalah jika radio masih berpikir dunia akan kembali seperti dulu. Karena tidak akan.
Iklan tak lagi dicetak di kertas order, tapi diukur dengan algoritma. Pendengar tak lagi duduk di depan radio, tapi membawa radio di dalam ponsel mereka sendiri.

Maka, satu-satunya jalan bagi radio untuk bertahan adalah menjadi bagian dari ekosistem digital itu sendiri tanpa kehilangan kemanusiaannya.

Akhir yang Tidak Sedih

Biro iklan boleh pergi, tapi komunikasi tidak. Suara masih punya daya sihir. Cerita masih bisa dijual. Kedekatan masih bisa dirayakan.
Yang harus berubah adalah cara kita menjahit semuanya menjadi nilai baru.

Radio tidak sedang mati. Ia hanya menunggu untuk dilahirkan kembali bukan sebagai corong, tapi sebagai jembatan antara manusia dan makna di tengah kebisingan digital.

Dan mungkin, kelak, biro iklan akan kembali bukan untuk menitipkan spot, tapi untuk mencari kehangatan yang dulu hilang.

Kalimat penutup:

Dunia boleh pindah ke layar, tapi kepercayaan masih hidup di suara.
Dan selama manusia masih butuh didengar, radio tidak akan pernah benar-benar padam. (*)

Artikel di Ekky Dirgantara


Tags