News Breaking
Live
update

Breaking News

Napak Tilas Sumpah Sati Bukik Marapalam (Adat Basandi Sara', Sara' Basandi Kitabullah)

Napak Tilas Sumpah Sati Bukik Marapalam (Adat Basandi Sara', Sara' Basandi Kitabullah)



Oleh Syaiful Guci

SAYA kedatangan tamu Sultan Yhoeldy Warman atau sering disebut Yhohannes Neoldy bersama Ade Irma Suryani dari Limo Kaum, Batu Sangkar. 

Dalam perbincangan kami tentang Minangkabau, Yhohannes bertanya, "Menurut catatan Bapak bilo istilah Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) muncul?"

Begini jawaban saya.
“Jika merunut catatan saya, ada delapan waktu tentang kapan dimulainya istilah Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) atau orang lebih mengenal Sumpah Satiah Bukik Maraplam. Namun terakhir catatan tahun 1926 yang menarik bagi saya. Rapat yang digelar sejak 23 April 1926 itu, diadakan dua hari sampai ditutup tanggal 24 April 1926. Sebanyak 76 pangulu (penghulu adat) berkumpul di Bukittinggi. Mereka membahas rencana Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan keresidenan Sumatra Barat dengan Keresidenan Tapanuli menjadi satu gouvernement yang dipimpin gubernur. 

Kesimpulan rapat, kaum adat menolak penggabungan dengan Tapanuli. Alasannya, hal itu dinilai akan menimbulkan kekacauan dalam negeri. Para pangulu tidak bersedia bila nanti ada orang Tapanuli yang akan menjadi demang atau asisten demang di Sumatra Barat tidak seagama.

Karena sejak akhir tahun 1914 keluarnya Besluit 22 October 1914 No. 17. Bepaling dat de districtsen de onderdistrictshoofden in het gouvernement Sumatra’s Westkust den ambtstitel dragen respectievelijk van „Demang  en van „Assistent-Demang" (Keputusan bertanggal 22 Oktober 1914 No. 17. Ketentuan Bupati dan Camat di Kegubernuran Sumatera Pesisir Barat menyandang gelar resmi “Demang dan dari "Asisten Demang") Jabatan Tuanku Lareh dihapus.

Dalam surat yang sama, kaum adat mengusulkan, daripada digabungkan dengan Tapanuli, lebih baik Minangkabau disatukan dengan Jambi dan Kuantan. Sebab, antara Minangkabau dengan kedua daerah itu sudah bertali darah dan berhubungan sejarah sejak waktu yang lama. Dengan adagium “Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kityabullah (ABS-SBK ).

Sebenarnya kawasan Tapanuli sudah digabungkan oleh Belanda menjadi wilayah Sumatra Barat sejak 1841. Penggabungan itu dipertegas pada 1842, ketika Pemerintah Hindia Belanda membagi Gouvernement Sumatra's Weskust (Provinsi Sumatra Barat) menjadi tiga keresidenan, yakni Padangsche Benedenlanden, Padangsche Bovenlanden serta Tapanuli.
Padangsche Benedenlanden wilayahnya meliputi wilayah pesisir, sejak dari Pesisir Selatan sampai ke Pasaman Barat. 

Sementara, Padangsche Bovenlanden meliputi daerah pedalaman Minangkabau atau Luhak nan Tigo (Tanah Datar, Agam, Limapuluh Kota).

Pembagian tiga keresidenan tersebut, mencerminkan adanya pemisahan dua kelompok etnis atau suku utama yang mendiami daerah itu. Keresidenan pertama dan kedua mencakup ruang lingkup budaya Minangkabau dan keresidenan ketiga merupakan wilayah budaya Batak.

Pada 1905, Keresidenan Tapanuli dipisahkan dari Gouvernement Sumatra Barat. Sehingga, wilayahnya tinggal dua keresidenan. Dua keresidenan ini kemudian dilebur jadi satu keresidenan Sumatra's Weskust pada 1913.

Para penghulu menyebutkan, ini merupakan perwujudan Minangkabau Raya di bawah Raja Belanda. Pascaperang Padri, kaum adat memang kembali bekerja sama dengan Belanda. Kerja sama antara kaum adat dan pemerintah itu memang menggiring citra bahwa Sumatra Barat adalah daerah kaum adat.

Itu juga yang membuat, ketika pada 1918 diberi kesempatan membentuk dewan perwakilan rakyat, diberi nama Minangkabau Raad, bukan West-Sumatra Raad.

Karena itu, ketika ada ide untuk mengembalikan Provinsi Sumatra's Westkust yang lama dengan menggabungkan Tapanuli pada 1926, kaum adat menentangnya. Penggabungan ini memang akhirnya tak jadi diwujudkan Pemerintah Hindia Belanda.

Pertemuan tersebut dengan istilah 'Minangkabauisasi'  dengan maraknya penerbitan buku tentang Minangkabau, termasuk sejarah dan wilayahnya setelah pertemuan itu.

Tidak lama setelah kongres adat di Bukittinggi, tambo yang diberi judul Tambo Alam Minangkabau diterbitkan pertama kali tahun 1930 dan disusun oleh Jamaan Dt. Batuah. Jamaan Dt Batuah adalah salah satu pangulu yang hadir dalam pertemuan 1926 dan ikut menandatangani permohonan pembatalan penggabungan Keresidenan Sumatra Barat dengan Tapanuli. Dalam tambo tersebut juga menyebut wilayah Minangkabau termasuk sebagian daerah di Riau dan Jambi, khususnya kawasan sekitar Kampar, Kuantan dan Batanghari.



Pada 1956, menurutnya, tambo tersebut disempurnakan oleh Akhmad  Datuak Batuah dan Datuak Madjoindo. Dalam tambo ini ditegaskan dengan rinci Alam Minangkabau dan rantaunya  itu meliputi daerah;

mulai dari Sikilang dan Air Bangis, sampai ke riak nan berdebur, pucuk Jambi Sembilan Lurah, sampai ke Tanjung Simalidu, Kuok dan Bangkinang, Siak, Indragiri, Kampar Kiri dan Kampar Kanan.


Dalam tambo 1956 itu, penulis melengkapi bukunya dengan sebuat peta tentang Alam Minangkabau, sebuah peta yang sebelumnya tidak pernah dibuat penulis lainnya. 

"Dalam peta itu terlihat, Alam Minangkabau dan rantaunya memang hampir identik dengan daerah administratif Sumatra Tengah (daratan),"  terang saya.

"Berarti bila dihitung sejak tahun 1926 sampai tahun 2025 baru sekitar 99 tahun, bagaimana dengan catatan Sumpah Satie Bukik Marapalam?” tanya Yhohannes.

Terhadap catatan Sumpah Satie Bukik Marapalam ini,  kapan terjadinya, ada delapan pendapat yang saya catat sampai saat ini. Salah satunya di mana pada tahun 2011 saya bertemu dengan almarhum Bapak Asbir Dt.Rajo Mangkuto asal Nagari Simarasok Kecamatan Baso, Kabupaten  Agam. Ia mantan Wali Nagari Simarasok semasa PRRI.

Kami bercerita tentang buku yang sedang dia susun Direktori Minangkabau terbit tahun 2012  dengan tebal 1.640 halaman dan buku Pedoman Dasar Kesultanan Minangkabau Darul Qarar.

Sambil membantu dia untuk mengetik buku, kami berdua bercerita:
 
"Menurut Saiful, bilo sandi adat Minangkabau berdasarkan : ‘Ain Ba Sin – Sin Ba ‘Ain atau sekarang banyak orang menyebutkan ‘Ain Ba Sin – Sin Ba Kaf terjadi?“ tanya H. Asbir Dt.Rajo Mangkuto kepada saya.

“Tidak mengerti saya Pak Datuk tentang ‘Ain Ba Sin – Sin Ba ‘Ain atau ‘Ain Ba Sin – Sin Ba Kaf,“ jawab saya.

"Hahaha... kalau kita membaca buku lama karena bertulisan Arab-Melayu, maka yang dimaksudkan ‘Ain Ba Sin – Sin Ba ‘Ain atau ‘Ain Ba Sin – Sin Ba Kaf jika dituliskan dalam huruf latin adalah singkatan Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Adat (ABS –SBA) atau sekarang orang menyebutnya Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK),“ jawab H. Asbir Dt.Rajo Mangkuto yang lahir 14 Juli 1934 kepada saya sambil tersenyum lebar.

Saya mencoba menjawab. “Tentang peristiwa Sumpah Satiah Perjanjian Bukik Marapalam, menurut yang saya baca banyak ahli belum sependapat terhadap tahun kejadian Sumpah Satiah Perjanjian Bukik Marapalam ini ada yang menyebutkan abad ke-15 ada Abad ke- 17 dan ada yang menyebutkan sejak zaman Paderi Abad ke-19. Dan saya hanya punya kopian catatan Inyiak Canduang beraksara Arab Melayu yang menyatakan perjanjian Bukik Marapalam terjadi sekitar 1809 M sebelum pembunuhan keluarga Raja Pagaruyuang di Koto Tangah disana dikatakan ikut hadir Haji Miskin tokoh Paderi yang berasal dari Kampung saya Pandai Sikek. Nah, Kalau menurut Pak Datuak bilo peristiwa ini terjadi?” 

“Kalau begitu, peristiwa Sumpah Satiah Perjanjian Bukik Marapalam ini bukan sekali dua kali terjadi sesuai dengan kepentingan di zaman itu. Dan kalau menurut saya, yang pernah saya tulis dalam sebuah buku Pedoman Dasar Kesultanan Minangkabau Darul Qarar yang kemudian ada dalam buku Direktori Minangkabau adalah pada tahun 1650 M di mana Maharajo Sakti naik nobat sebagai Daulat Yang Dipartuan (DYD) Sultan Alif Khalifatullah. Sulthan Alif maksudnya gelar Sulthan pertama yang memeluk Agama Islam. Namun buku saya tersebut belum diakui oleh sarjana sejarah karena dalam penulisannya tidak punya rujukan daftar pustaka,” ujar H. Asbir Dt.Rajo Mangkuto.

"Tidak penting orang mengakui sebuah karya tulis kita, tetapi kita memahaminya itu adalah sebagai ilmu karya kita sendiri,” ujar saya menghibur.

Dilanjutkannya, “Pada kondisi Minangkabau pada abad ke-17, agama yang berkembang ditinggalkan oleh keturunan Adytiawarman dengan agama Tantrana Siwanya yang telah menjadi adat di alam Minangkabau. Petitih Alam Takambang Jadi Guru diagungkan dalam ajaranya. Manusia Minangkabau diperintahkan belajar kepada Alam. Misalnya, perempuan di suruh meniru lebah ratu yang hanya tinggal dirumah untuk memproduksi anak belaka, sementara yang laki-laki meniru terhadap perbuatan ayam jantan yang boleh mengejar wanita siapa suka saja. Acara penyelenggaraan kematian melepas mayat dilakukan dengan acara besar-besaran melalui acara maratok dengan dilakukan kenduri seperti agama Budha dan Hindu sehingga petitih adat menyebutkan boleh menjual dan mengadai untuk melakukan hajat peristiwa mayat terbujur di tengah rumah tersebut. Agama Islam memang telah berkembang tetapi dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat atau penganut Islam belum secara kaffah.

"Maka dilakukanlah rapat di Bukit Attar atau puncak Pato Marapalam untuk merapatkan seluruh masyarakat dalam Alam Minangkabau karena tempat tersebut posisi yang di tengah dari Alam Minangkabau. Rapat dipimpin oleh Datuak Bandaro Putiah dan Tuanku Maharajo Sakti. Dalam rapat di Bukik Marapalam Tuanku Maharajo Sakti berpidato sambil menyitir beberapa ayat dalam Alquran supaya masyarakat menganut agama Islam secara Kaffah,“ demikian penjelasan H. H. Asbir Dt.Rajo Mangkuto.

Kemudian kita baca pula Catatan’zsari  Pati Sumpah zsatie Bukk Mararapalam, menurut catatan Inyiak Canduang yang saya peroleh fotocopynya dari Ibu Halimah, anak Syekh Suleiman Ar Rasuly Canduang yang tinggal di Batu Balang Kecamatan Harau saat saya mengajar di MTsS Batu Balang tahun 1986-1988.

Dari catatan tersebut bertulisan Arab Melayu setelah dialihbahasakan begini tertulis:

"Agama Islam mula-mula datang ke Minangkabau dengan melalui daerah Pesisir (rantau), disambut dengan tangan terbuka oleh Penghulu-Penghulu dalam Luhak nan Tigo Lareh nan Duo. Sesudah Islam berkembang di Alam Minangkabau terjadilah perselisihan antara Kaum Adat dengan Alim Ulama, disebabkan ada sebagian dari pamaianan kaum adat yang tidak disetujui oleh Alim Ulama seperti basaluang barabab, manyabuang, bajudi, badusun bagalanggang, basorak basorai dan lain-lain. Dan sebagian apa yang diharuskan oleh agama tidak dapat dibenarkan menurut adat seperti perkawinan sepasukuan.

Untuk memelihara persatuan dalam nagari, diusahakan oleh orang pandai-pandai dan terkemuka mencari air nan janih sayak nan landai guna terwujudnya perdamaian antara Penghulu dan Alim Ulama. Nan di atas ke bawah-bawah nan di bawah ke atas-atas, masing-masing surut salangkah. Kaum adat meninggalkan pamainan yang bertentangan dengan agama seperti manyabung, berjudi dan sebagainya.

Dan Alim Ulama membenarkan pula ketentuan adat yang tidak berlawanan dengan agama seperti melarang perkawinan sepasukuan dan lain-lain, sehingga dapatlah kata sepakat: “Bulat boleh digolongkan picak boleh dilayangkan”.
Buat mengikrarkan dan ma-ambalaui kebulatan itu, diadakanlah pertemuan besar di atas Bukit Marapalam (antara Lintau dan Tanjung Sungayang) yang dihadiri oleh Penghulu-Penghulu dan Alim Ulama serta orang-orang terkemuka dalam Luhak nan Tigo Lareh nan Duo. Dibantai kerbau, dagingnya dilapah darahnya dikacau, tanduk ditanamkan, ditapung batu dilicak pinang, diikat dengan Alfatihah dan dibacakan doa selamat. Dalam pertemuan besar itulah diikrarkan bersama-sama dan menjunjung tinggi kebulatan yang telah dibuat oleh orang-orang pandai dan para terkemuka, yaitu:

1. Penghulu adolah rajo dalam nagari, kato badanga, pangaja baturuik, manjua jauh manggantung tinggi.

2. Alim Ulama adolah suluh bendang dalam nagari, air nan janih sayak nan lancar tempat batanyo di Panghulu.

Dalam pelaksanaannya, Alim Ulama memfatwakan dan Panghulu mamarintahkan. Di sinan ditanamlah Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat di Sumpur Kudus.

Dikarang sumpah jo satie, yaitu: “Siapa yang melanggar kebulatan ini dimakan biso kewi di atas dunia , ke atas indak bapucuk, ke bawah indak baurat, di tangah dilarik kumbang, di akhirat dimakan kutuk kalam Allah.”
Di sinan ditetapkan pepatah adat nan berbunyi: “Adat bapaneh syarak balindung”, artinya: “Adat adalah tubuh dan syarak adalah jiwa di Alam Minangkabau”. Dan pepatah adat nan berbunyi: “Syarak mangato adat mamakai”.

Itulah sari pati sumpah satie (Piagam) Bukit Marapalam nan kita terima turun temurun sampai kini. Dan hambo terima dahulunya dari tiga orang tuo, yaitu:
1. Tuangku Lareh Kapau nan Tuo (sebelum Tuangku Lareh yang terakhir).
2. Ninik dari mintuo hambo di Ampang Gadang.
3. Angku Candung nan Tuo.
Bukti-bukti yang bersua dalam pelaksanaan, yang bahasa Penghulu memerintahkan menjalankan fatwa Ulama seperti berzakat, berpuasa, bersunat rasul dan sebagainya, yang sulit dapat dikerjakan kalau tidak diiringi fatwa Ulama itu dengan perintah Penghulu sebagai rajo dalam nagari.

Pada akhir abad kesembilan belas dan lai hambo dapati bahwa sesuatu perkara yang terjadi dalam nagari dihukum oleh Penghulu. Sebelum Penghulu menjatuhkan hukuman malamnya mendatangi Ulama yang dinamakan waktu itu dengan “Bamuti” (mungkin asalnya bermufti) untuk minta nasihat dan bermusyawarah tentang hukum yang akan dijatuhkan (waktu itu tempat “bamuti” adalah Angku Candung nan basurau di Baruhbalai). Dan begitu juga ditiap nagari di Minangkabau sampai ada peraturan baru oleh Belanda yang perkara diadili oleh Tuangku Lareh, kemudian Magistraad dan kemudian sekali Landraad.
Kaum penjajah (Belanda) sangat kuatir kepada persatuan adat dan agama. Maka diusahakannya memecahkan dengan mendekati Penghulu dan menjauhi Alim Ulama.

Tambo-tambo adat yang dipinjam, katanya untuk dipelajari, tetapi sebenarnya untuk dihabiskan, guna mengaburkan sejarah yang sebenarnya, termasuk sejarah Bukit Marapalam ini.
Demikianlah hambo wasiatkan untuk dipedomani oleh anak cucu hambo kemudian hari di Candung khususnya dan di Minangkabau umumnya, karena sudah terdengar orang-orang yang hendak mencoba memisahkan antara adat dan agama di Minangkabau.

Wabilahitaufieq.
Candung, 7 Juni 1964 26 Muharam 1384.
Dto
Syekh Suleiman Ar Rasuly

Demikian catatan Syekh Suleiman Ar Rasuly

=======
Pulutan, 17 Oktober 2025  
Artikel ini ditulis oleh
Saiful Guci SP. Dt.Rajo Sampono
Beliau menetap di ajorong Pulutan, Nagari Koto Tuo, Kecamatan Harau- Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

Diedit seperlunya oleh Redaksi.

Tags