Keberanian Dr. Sutardjo dengan Petisinya di Volksraad
![]() |
| Suasana sidang Volksraad |
tanjaxNews.com, TEMPO DOELOE - Petisi Soetardjo adalah sebuah mosi yang diajukan oleh anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Hindia Belanda, Soetardjo Kartohadikoesoemo yang juga Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/Pamongpraja Bumiputra (PPBB), pada 15 Juli 1936.
Petisi ini meminta pemerintah Belanda untuk menyelenggarakan suatu konferensi antara perwakilan Indonesia dan Belanda untuk membahas otonomi bagi Hindia Belanda dalam kerangka konstitusional Belanda.
Tujuannya adalah untuk menyusun rencana pemberian pemerintahan sendiri kepada Indonesia secara bertahap dalam waktu 10 tahun, namun petisi ini akhirnya ditolak oleh pemerintah Belanda pada 16 November 1938 karena dianggap bangsa Indonesia belum siap untuk memikul tanggung jawab memerintah sendiri.
Siapa Sutardjo, dan bagaimana proses munculnya Petisi Sutardjo?
Dalam buku "Sutardjo Petisi Sutardjo dan Perjuangannya dibahas semuanya.
Sutardjo lahir di Kunduran, Blora pada tanggal 22 Oktober 1892. Ayahnya seorang pamong yang menjabat Wedana. Sutardjo hidup di lingkungan pegawai atau pamong. Semua saudara laki-lakinya menjadi ambtenaar alias pegawai pemerintah. Sama halnya dengan kakek dari pihak ayah dan ibunya juga bekerja dengan pemerintah.
Karena ayahnya punya kedudukan cukup tinggi, Sutardjo bisa sekolah di ELS, sekolah dasar khusus untuk anak-anak Belanda dan pribumi yang orang tuanya punya kedudukan tertentu dan mampu. Setamat ELS lalu melanjutkan ke sekolah calon pamong praja pribumi di Magelang. Kemudian ikut Sekolah Pemerintahan (Bestuur school) di Jakarta.
Ia memulai kariernya sebagai pegawai dengan menjadi pembantu jurutulis magang, tidak digaji. Peningkatan karier Sutardjo berjalan dengan mulus. Berbagai jabatan pernah dipegangnya. Mulai juru tulis jaksa, mantri kabupaten, asisten wedana, pembantu jaksa, jaksa, dan wedana. Kemudian beliau dipercaya menjadi patih merangkap Landrechter pada tahun 1929. Setelah menjadi pamong selama kurang-lebih 20 tahun, pada tahun 1931 Sutardjo terpilih menjadi anggota Volksraad.
Pada pertengahan Juni 1931 Sutardjo berangkat ke Jakarta untuk menghadiri sidang Volksraad yang pertama. Pada sidang tersebut Sutardjo bersama RAA Wiranatakusumah terpilih menjadi anggota College van Gedelegeerden Volksraad (Badan Pekerja Volksraad). Jabatan ini adalah jabatan tetap. Karena itu Sutardjo harus meletakkan jabatannya sebagai patih. Keluarganya pun diboyong ke Jakarta. Ia mejadi anggota Volksraad sampai Jepang masuk.
Pada tahun 1936 Sutardjo membuat kejutan di Volksraad. Sutardjo mengajukan sebuah petisi yang membuat pihak Belanda merasa tersudut. Petisi ini kemudian dipublikasikan oleh media berbahasa Indonesia maupun Belanda. Termasuk yang beredar di Nederland.
Waktu itu perkembangan politik Internasional sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga tidak mungkin Nederland mengekang wilayah koloninya di bagian benua lain. Indonesia, Suriname, dan Curacao memiliki hak hidup sesuai bakat dan kekuatannya sendiri. Berdasarkan pemikirannya terkait hal tersebut, Sutardjo, dengan membawa sejumlah bahan-bahan dan buku yang diperlukan, berangkat ke rumah pesanggrahannya di Cimelati, Kabupaten Sukabumi.
Keluarga Dr. GSSJ Ratulangi temannya sesama anggota Volksraad juga punya pesanggrahan di sana, di depan pesanggrahan Sutardjo.
Ratulangi dan Sutardjo punya banyak kesamaan pemikiran. Ratulangi pandai, jujur, dan berpandangan luas, sehingga mereka mudah menjadi teman akrab.
Selama beberapa hari Sutardjo mempelajari buku dan lain-lain yang dibawanya dari Jakarta. Sampai pada suatu malam ia menyusun konsep Usul Petisi Untuk Volksraad. Keesokan harinya Ratulangi datang ke rumah Sutardjo. Sutardjo lalu memperlihatkan konsep petisi yang baru saja dibuatnya kepada Ratulangi. Setelah membaca konsep tersebut Ratulangi bertanya, darimana diperoleh bahan ini. Sutardjo lalu memperlihatkan buku 'Grondwet Nederland'.
Ketika Sutardjo menanyakan pendapat Ratulangi tentang konsep petisi tersebut, beliau pun menyetujuinya. Dan langsung menandatangani tanda persetujuan yang sudah disiapkan Sutardjo.
Kemudian di Jakarta, Sutardjo mengundang beberapa teman untuk berkumpul di rumahnya. Teman-temannya, Kasimo, Lanjumin Datuk Tumanggung, Mr. Ko Kwat Tiong dan SS Alatas setuju dan menandatangani konsep petisi tersebut.
Pada rapat Volksraad bulan Juni 1936 dibicarakan anggaran belanja dan pendapatan tahun 1937. Ketika mendapat giliran berbicara, Sutardjo mengemukakan petisi yang dibuatnya. Ia menjelaskannya dengan rinci. Ketua sidang, orang Belanda, dengan nada sinis mengatakan petisi itu akan dibicarakan lain waktu.
Pada bulan Agustus petisi tersebut mulai dibicarakan perbagian. Pada tanggal 17 September 1936 berlangsung pembicaraan mengenai petisi itu dalam sidang pleno terbuka. Ratulangi mendapat kesempatan menjadi pembicara pertama. Pembicaraan ini berlangsung sampai tanggal 29 September 1936. Setelah semua peserta yang berbicara menyelesaikan tugasnya, Sutardjo lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peserta. Setelah saya selesai menjawab pertanyaan-pertanyaan, ketua sidang membuka sidang kedua.
Pada sidang kedua ketua sidang meminta peserta mengajukan pendapat atau pertanyaan lainnya. Ia pun menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Setelah itu diputuskan pertemuan berikut pada tanggal 29 September dengan agenda pemungutan suara. Peserta bia memilih setuju atau menolak, Petisi tersebut.
Pada sidang tanggal 29 September tersebut hadir 46 orang anggota dari total anggota 60 orang. Hasil pemungutan suara menunjukkan 26 orang setuju dan 20 orang menolak.
Berita tentang Petisi Sutardjo dimuat di Harian Pemandangan oleh Tabrani, redaktur koran tersebut. Dia menulis agar masyarakat harus memberi perhatian pada Petisi Sutardjo yang telah disahkan oleh Volksraad. Selanjutnya tulisan tersebut dikutip oleh koran-koran lainnya baik yang berbahasa Belanda atau Indonesia, juga termasuk yang beredar di Nederland.
RM Notosuroto, seorang bangsawan dari Pakualaman, yang sedang belajar di Nederland memperdengarkan pendapatnya yang menyokong Petisi Sutardjo itu. Korps pamong praja dari juru tulis sampai bupati mendukung Petisi tersebut.
Kemudian Tabrani melalui korannya mengusulkan agar dibentuk panitia Petisi Sutardjo. Lalu dibentuklah sebuah panitia. Sutardjo diminta sebagai Ketua Pusat Petisi Sutardjo tersebut. Anggotanya antara lain Haji Agus Salim, Otto Iskandar Dinata., Mr. Sartono, dll. Panitia ini dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1937 di Gedung Pertemuan Rakyat gang Kenari Jakarta, sebelum Ratu memutuskan usulan Volksraad mengenai Petisi Sutardjo. Di kabupaten-kabupaten di pulau Jawa dibentuk pula panitia Petisi Sutardjo.
Panitia Pusat juga berkunjung ke daerah-daerah. Waktu di Surabaya yang ikut dari Panitia Pusat adalah Haji Agus Salim dan Mr. Sartono. Selain rakyat dan pamongpraja Petisi Sutardjo ini juga didukung oleh sejumlah orang Belanda, baik yang tinggal di Nederland maupun yang di Indonesia.
Pada tanggal 16 November 1938, setelah dua tahun lebih menunggu keputusan Ratu di Nederland, jatuhlah keputusan. Ratu memutuskan menolak keputusan Volksraad terkait Petisi Sutardjo.
Tidak lama setelah Petisi Sutardjo ditolak Ratu, ada tiga kali Sutardjo dipanggil untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pejabat Belanda yang berkaitan dengan kiprah Sutardjo. Rupanya Sutardjo dicurigai berniat menjatuhkan pemerintahan Belanda di Indonesia. Untung saja ia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan baik, sehingga bisa lepas dari jerat hukum.
Latar Belakang Petisi Sutardjo
Kondisi Politik dan Ekonomi: Petisi ini diajukan sebagai reaksi terhadap kondisi politik dan ekonomi yang sulit di Hindia Belanda pada masa itu.
Kekecewaan terhadap Kebijakan: Ada ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge.
Keinginan Otonomi: Muncul keinginan yang kuat untuk mendapatkan hak otonomi agar Hindia Belanda dapat menjalankan pemerintahan secara mandiri.
Isi Petisi
1. Permohonan Konferensi: Meminta dilaksanakannya pertemuan antara perwakilan Indonesia dan Belanda yang memiliki hak yang sama untuk menyusun rencana masa depan.
2. Otonomi Bertahap: Mengusulkan pemberian otonomi kepada Indonesia dan waktu sekitar 10 tahun untuk bersiap mendirikan pemerintahan sendiri.
3. Perubahan Pemerintahan: Mengusulkan adanya perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Indonesia, seperti Pulau Jawa dijadikan satu provinsi dan Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya.
Reaksi dan Dampak
Pemerintah Belanda secara prinsip menolak petisi ini dengan alasan bangsa Indonesia belum siap menjalankan pemerintahan sendiri.
Meskipun mengecewakan, penolakan ini justru memperkuat rasa solidaritas dan persatuan di kalangan pergerakan nasional Indonesia.
Kegagalan Petisi Soetardjo menjadi pendorong bagi kaum pergerakan untuk bersatu dan membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada 21 Mei 1939. (Oce)

