Jusuf Kalla: Menjadi Pemimpin itu Mesti Berani dan Cerdik
Oleh: H.M Jusuf Kalla
SAYA mengenal Aristo Munandar melalui Sdr. Syahrul Ujud, mantan Walikota Padang. Di antara keduanya terdapat hubungan persahabatan sejak mereka muda, sejak sama-sama menjadi pengurus KNPI lalu berlanjut menjadi hubungan kedinasan di Pemko Padang.
Dari sisi saya, hubungannya tentu berkait dengan dua hal, pertama dalam partai politik Golkar dan Palang Merah Indonesia. Ketika saya menjadi Ketua Umum Golkar, Aristo Munandar adalah kader –ketika itu Pegawai Negeri masih dimungkinkan menjadi pengurus dan kader partai. Jadi dalam beberapa pertemuan Partai Golkar kami bertemu.
Sejak 2014 kami banyak bertemu dalam kegiatan-kegiatan nasional PMI, karena saya menjadi Ketua Umum PMI. Tahun 2019, saya diberitahu oleh pengurus bahwa PMI Sumbar sudah melaksanakan Musyawarah Provinsi dan hasilnya Aristo Munandar terpilih jadi Ketua melanjutkan kepemimpinan Alm. Prof. Marlis Rahman. Saya memberi apresiasi, karena saya sudah tahu track record Aristo.
Maka ketika saya datang ke Padang 2019 untuk melantik pengurus baru, saya langsung menitipkan PMI kepada Aristo, saya anggap beliau adalah orang yang cakap dan pas untuk memimpin organisasi kemanusiaan ini.
Dari draft buku yang disampaikan kepada saya sebelum buku ini dicetak, saya membaca dan mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang sosok seorang Aristo Munandar. Seorang birokrat yang religius dan dibesarkan dalam keluarga sederhana yang taat beragama. Oleh karena itu, jika kemudian ia mencempungkan diri ke dalam lingkungan birokrasi karena memilih untuk melanjutkan kuliah di Akademi Pemerintahan DalamNegeri (APDN) maka ia menjadi pamong yang amat mengerti bagaimana memimpin masyarakat yang ia ketahui seluk beluknya sejak kecil.
Dapat saya pahami betapa menjadi pemimpin itu memerlukan kecerdikan. Dalam buku ini dikisahkan bagaimana sebagai Camat, Aristo ‘bermain’ mengatur para tokoh masyarakat (ninik mamak, alim ulama, bundo kanduang), memberhentikan rombongan Menteri PU Purnomosidi Hajisarosa untuk meminta air bersih, unutk masyarakat Baso, Kabupaten Agam, dan dikabulkan oleh Menteri PU setelah disurvey.
Atau bagaimana ‘mengakali’ mengambil lahan Universitas Andalas untuk dijadikan lahan membangun SMP. Saya tersenyum saja membaca fragmen pengambilalihan lahan Unand itu. Tapi semua dilakukan demi kebaikan masyarakat. Itu adalah sebuah tindakan atau kecerdikan yang tidak dimiliki oleh semua pejabat dan pemimpin.
Begitu juga ketika Aristo Munandar menjadi Bupati Agam. Bersama Bupati Padang Pariaman dan Gubernur Sumbar bersepakat membangun jalan pintas dari Padang ke Bukitinggi melalui jalur Sicincin-Malalak. Saya diminta melakukan Gound breaking.
Ketika hendak berpidato, saya tanya Syahrul Ujud yang duduk dekat Aristo. “Anggarannya berapa?” Ia menerangkan bahwa anggarannya belum ada. Saya tentu saja kaget. Tapi kemudian ia membisikkan kepada saya agar waktu pidato nanti minta Dirjen Bina Marga mencarikan anggarannya. Walhasil, Dirjen Bina Marga Hermanto Dardak yang hadir di acara itu terpaksa mengangguk.
Selanjutnya di Jakarta saya panggil Menteri PU untuk menyiapkan anggaran, tiga hari kemudian saya diberitahu Dirjen Bina Marga bahwa anggarannya sudah tersedia Rp350 miliar. Saya teringat Bupati Aristo Munandar itu, tentu dialah yang membuat skenario, launching proyek tapi anggarannya belum ada. Meski kesannya ‘mengakali’ tapi menurut saya pemimpin harus bisa melakukan manuver seperti itu untuk suksesnya sebuah kerja baik untuk orang banyak.
Menurut saya menjadi pemimpin itu selain berani juga harus cerdik, mampu mencarikan jalan keluar atau solusi pada saat terdapat kebuntuan. Kita tahu resikonya menghalangi seorang menteri dalam perjalanan, tetapi Aristo sudah menyatakan bahwa dirinya siap dikenakan sanksi asal Menteri mau membantu sarana air bersih. Begitu juga ketika mengambil lahan Unand, ia siap ditegur oleh Rektor Unand. Berani mengambil resiko yang sudah diperhitungkan itu adalah salah satu syarat seorang pemimpin.
Itu juga sebabnya, Aristo sampai dua kali terpilih menjadi Bupati, lantaran modal sebagai pemimpin dengan sosok berani dan cerdik serta cerdas memang dipunyainya. Pemimpin yang hanya mencari aman dan suka di comfort zone saja, biasanya tidak bertahan lama dan cepat dilupakan.
Buku ini saya kira akan sangat berguna bagi para pemimpin muda yang saat ini sering lupa dengan yang namanya ‘kecerdikan’ tadi.
Ini adalah sebuah memoar yang bisa menjadi ‘kitab’ nya para pemimpin milenial agar bisa belajar bagaimana menjadi pemimpin berani, pemimpin cerdik, pemimpin cerdas dan senantiasa dikenang legacy nya.
Menulis memoar atau otobiografi bagi pemimpin di Barat pada saat sudah berusia 70 tahun ke atas, adalah sebuah kebiasaan. Di Indonesia, apalagi di daerah tentu belum semua pemimpin senior mau dan telah menulis otobiografinya.
Sebuah buku otobiografi diterbitkan tidak untuk gagah-gagahan atau untuk membangun citra, sebab membangun citra itu tidak di kala usia senja melainkan pada waktu muda.
Menulis otobiografi tentu ditujukan untuk mencatatkan berbagai hal yang selama ini tidak tercatatkan oleh media, hal-hal yang menjadi latar belakang sebuah peristiwa, bisa dicantumkan dalam otobiografi. Sebuah otobiografi biasanya juga dipersembahkan bagi anak cucu untuk mengenang kakek mereka sebagai seorang yang berperan dalam sejarah daerah.
(Dicuplik dari Sambutan Pak JK pada buku Otobiografi ini)
