Dulu Selangkah
![]() |
| Almarhum Wazirdal Nazir dalam salah satu pertemuan Perkumpulan Masyarakat Alam Gumanti (MAG). [Foto:tanjakNews.com/All Amin] |
Oleh: All Amin
Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama.
Peribahasa itu tepat disematkan kepada almarhum Wazirdal Nazir dalam keterkaitannya dengan Perkumpulan Masyarakat Alam Gumanti (MAG).
Pak Ir, demikian kami memanggil beliau.
Selaku orang yang paling tua dalam Kesebelasan MAG beliau sangat dihormati. Dalam setiap diskusi Pak Ir selalu didulukan selangkah, ditinggikan seranting. Petuahnya didengarkan.
Kemarin Pak Ir betul-betul telah dulu selangkah.
Innalillahi wainna illaihi rajiun. Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.
Sejatinya kita semua sedang di perjalanan kembali menuju Allah. Sekedip pun proses itu tak pernah berhenti. Suka atau tidak. Mau paham atau tidak. Pasti akan tiba masanya jatah waktu kita berakhir. Habis.
Pak Ir telah tiba di putaran keempat; alam barzakh.
Kita masih di putaran tiga: alam dunia. Setelah sebelumnya berada di alam rahim dan alam roh.
Tak satu pun manusia tahu kapan ia akan dipindahkan ke putaran empat. Bisa besok, bisa lusa. Bisa lama, bisa sesaat lagi. Catatan nama semuanya sudah di tangan malaikat Izrail. Hanya tinggal menunggu antrean.
Belum sempat saya menghapus chattingan di grup Whatsapp di mana Pak Ir turut berkomentar. Tetiba masuk kabar kalau beliau wafat. Mengagetkan.
Atas dedikasi Pak Ir terhadap terbentuknya Perkumpulan MAG, maka pengurus menobatkan gelar Bapak Pendiri MAG kepada beliau.
Bagi yang turut menyaksikan bagaimana kegigihan beliau dalam memperjuangkan berdirinya MAG, pastilah mengatakan bahwa gelar itu sangat pantas disandang oleh Pak Ir.
Gagasan pendirian MAG dibawa dari Bandung oleh Pak Ir dan Haji Zainal. Untuk dirundingkan dengan beberapa tokoh Lembah Gumanti dan Iliran Gumanti yang ada di Jakarta. Rapat-rapat persiapan itu dilakukan secara maraton. Kebanyakan rapat dilakukan di Jakarta. Artinya Pak Ir dan Haji Zainal wara-wiri Bandung-Jakarta untuk mewujudkan berdirinya MAG.
Bagi yang biasa menempuh jalur Jakarta-Bandung bisa membayangkan rutenya. Jarak 130-an kilometer dengan kemacetan yang susah ditebak.
Saya turut terlibat dalam rapat persiapan kisaran sebulan menjelang munas. Dari masa itu--semoga tak salah ingat--ada tujuh kali Pak Ir dan Haji Zainal datang ke Jakarta untuk urusan MAG. Yang sebelum itu saya tak tahu persis. Tapi, saya dengar pun sudah ada beberapa kali pertemuan.
Saya belum lama mengenal beliau. Wasilah perkenalan dengan Pak Ir melalui MAG itu. Saya menyaksikan beliau begitu bersemangat. Dan saya punya beberapa catatan kecil tentang itu.
Seusai acara munas di mana beliau yang menjadi ketua stering komitenya. Ketika saya sudah mau pamit pulang. Kami bertemu di bawah. Saya ingat sekali Pak Ir berujar, "Ambo alah papanjang hotel samalam lai..." beliau masih mengajak agar diskusi terus dilanjutkan. Padahal munas sudah dari pagi. Dan beliau datang di tempat munas itu sejak sehari sebelumnya. Itu yang pertama.
Yang kedua: Dalam setiap rapat formatur beliau tak pernah absen. Sambil di mobil sekalipun Pak Ir tetap ikut. Via aplikasi daring. Kalau ada materi yang menggantung. Beliau minta agar rapat selanjutnya segera diagendakan. Syarat Pak Ir hanya satu. Rapatnya jangan Sabtu malam. Sebab cucu beliau datang. Hanya cucu yang dapat melerai semangat Pak Ir bila terkait urusan MAG.
Satu lagi; waktu penandatanganan akta MAG. Acaranya sore di kawasan Bintaro, Tangerang. Pak Ir dan Haji Zainal justru tiba lebih dulu di lokasi dibandingkan saya yang dari Bekasi. Acara itu baru kelar tengah malam. Tak terbersit wajah lelah, padahal harus balik ke Bandung malam itu juga.
Kemarin pengamatan saya itu terkonfirmasi. Seperti diceritakan oleh keluarga Pak Ir kepada Sekjen MAG, Wahyudi Isra ketika bertakziah ke rumah duka.
Sebenarnya Pak Ir itu sudah sakit jantung dari tujuh tahun silam. Sejak ada kegiatan MAG keluhan sakit itu seolah-olah sirna. Beliau bersemangat bolak-balik ke Jakarta. Bahkan pernah berangkat dari rumah di Cimahi jam 11 malam menuju Jakarta.
Itulah gambaran sepintas, mengapa gelar Bapak Pendiri MAG pantas beliau sandang. Sebagai bentuk penghormatan. Perwujudan ungkapan terima kasih kepada Pak Ir.
Gelar penghormatan itu penting. Namun, itu hanya sebatas ranah keduniawian. Bagi insan yang sudah wafat ada yang jauh lebih penting. Yang lebih mereka butuhkan. Guna tambahan bekal untuk menempuh perjalanan lanjutan yang tak terkira panjangnya.
Insan yang sudah wafat tak bisa lagi beramal saleh. Ia butuh transferan kebaikan dari orang yang masih hidup. Berupa doa, pahala dari ilmu bermanfaat yang pernah diajarkan, dan buah amal jariah.
Terkait amal jariah ini saya mendoakan. Dan berharap semuanya sepakat meng-aminkan. "Semoga MAG menjadi salah satu ladang amal jariah yang ditinggalkan oleh Pak Ir. Yang bila nanti berbuah kebaikan, maka semua kebaikan itu dapat menambah catatan di illiyyin beliau. Sampai kapan pun." Catatan para malaikat itu pastilah tak pernah luput, sezarah pun.
Terkait nawaitu amal jariah itu pulalah yang menghela saya turut berkecimpung ke dalam MAG. Niat serupa itu pun saya dengar dari kolega yang lain. Terdapat persamaan alur pikir.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Uda Isra--Sekjen MAG, "Berpulangnya Pak Ir mesti menjadi nasihat untuk kita semua. Bahwa jarak antara hidup dan mati itu sangatlah tipis. Baru kemarin Pak Ir meminta pelantikan agar segera dilakukan, sekarang beliau sudah tiada. Maka, janganlah segala kegiatan di MAG ini dilakukan hanya untuk tujuan keduniawian."
Bagi yang sudah mengelotok beraktivitas di ranah kegiatan nirlaba serupa MAG ini, pastilah sepakat, bila tujuan berkegiatan sosial serupa ini adalah penghargaan manusia; maka ujungnya adalah kelelahan. Hanya akan pegal hati.
Sehebat apa pun, bersuanya akan; labiah banyak upek dari puji. Sebab sudah pasti tak akan bisa menyenangkan semua orang. Itu hil yang mustahal.
Serupa cerita klasik tentang perjalanan seorang ayah dan anaknya beserta keledai mereka itu.
Ketika mereka berdua menuntun keledainya; orang mengatakan mereka itu bodoh. Giliran anaknya yang naik sendiri; anak itu dicap durhaka. Gantian ayahnya yang naik keledai: komentar orang ayah itu tak sayang anak. Lalu mereka berdua menunggangi keledai: mereka dikatakan penyiksa binatang. Akhirnya mereka menggendong keledai itu: maka mereka disoraki orang gila.
Bila tujuannya adalah dalam rangka beribadah. Mengumpulkan bekal pulang, maka semuanya menjadi terasa ringan. Dan daya dorongnya pun akan lebih besar. Sebab pertimbangannya hanya satu: karena Allah.
Bisa jadi semangat itu yang ingin ditularkan oleh Pak Ir. Semangat yang belum sempat terucap. Tapi memang beliau tak perlu mengucapkan itu. Kami semua melihatnya. Alah basuluah matoari, bagalanggang mato urang banyak.
Orang tua yang memberi contoh dengan perbuatan nyata, dampaknya jauh lebih hebat dari hanya sekadar semburat kata-kata. Pola keteladanan itu lebih efektif.
Selamat jalan, Pak Ir. Pada waktunya kami semua pun akan menyusul. Terkait cita-cita MAG yang ditinggalkan, insya Allah akan ada yang meneruskan. Mastathoktum; sebisanya. Semoga berkah kebaikannya terus mengalir ke sana. Sampai lama. (All Amin)


