Redenominasi Rp1.000 Jadi Rp1, Apa Akibatnya?
JAKARTA (tanjaxNews) - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan ide kebijakan redenominasi rupiah. Yakni penyederhanaan nilai rupiah yang dilakukan dalam bentuk penggantian tiga angka nol.
Tentu banyak masyarakat bingung dan khawatir pengurangan angka nol membuat nilai tukar uangnya menjadi susut.
Tentu saja, bila kebijakan ini berlaku akan terlihat perubahan nilai nominal yang tertera di lembar uang kertas rupiah.
Secara sederhana penjelasannya adalah, nanti nominal uang akan berganti dari Rp1.000 menjadi Rp1, Rp2.000 menjadi Rp2 Rp10.000 menjadi Rp10, Rp20.000 menjadi Rp20, hingga Rp100.000 menjadi Rp100.
Apakah dengan demikian nilai uang kita akan berkurang atau susut?
Jadi misalnya jika kita berbelanja sebuah kipas angin yang harganya Rp300.000 maka akan berubah menjadi Rp300.
Jadi, walaupun berubah menjadi Rp300 tapi nilainya tukarnya tetap setara dengan Rp300.000 sebagaimana diinginkan pedagang semula. Ingat, yang berubah nilainya saja tapi tidak dengan nilai tukarnya.
Menurut Kementerian Keuangan, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang, sehingga tidak mempengaruhi harga barang.
Menurut artikel yang dirilis CNBC, sebenarnya penghapusan tiga nol di belakang nominal sudah umum dilakukan di kota-kota besar Indonesia, terutama untuk sektor makanan dan minuman. Yakni yang populer kita baca nisalnya harga seporsi baksi ditulis 15K. Maksudnya tentu Rp15.000.
Hal itu sudah jamak dijumpai di coffee shop, cafe, atau restoran dan pelaku UMKM, dimana tiga nol diganti dengan 'K' atau 'Kilo'. Huruf "K" atau kilo (chilioi dalam bahasa Yunani) menjadi simbol kata "ribu".
Perubahan lain yang akan kita jumpai nanti dari kebijakan redenominasi adalah, bisa jadi kembali hadirnya uang pecahan sen. Pecahan sen sendiri adalah uang pecahan yang nilainya di bawah 1.
Dulu di tahun 2011 saat menjadi
Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution juga pernah mengungkapkan bahwa dengan penghapusan tiga nol atau redenominasi maka Indonesia akan kembali mengenal uang pecahan sen.
Jadi bisa jadi uang yang saat ini bernilai Rp 500 atau Rp200 atau Rp100 setelah redenominasi menjadi 5 sen, 2 sen, dan 1 sen.
Bagaimana dengan barang yang nilainya saat ini tidak genap seperti Rp73.576?
Untuk nilai yang tidak genap akan terjadi pembulatan bisa menjadi Rp73,60 atau tujuh puluh tiga rupiah enam puluh sen.
Penyederhanakan nominal mata uang juga akan membuat lebih praktis dalam transaksi dan pembukuan akuntansi. Digit yang banyak pada mata uang, merupakan masalah pada bisnis berskala besar, termasuk pada software akuntansi dan sistem IT perbankan yang mengalami kendala teknis untuk angka diatas 10 trilliun.
Keuntungan dengan pengurangan angka nol adalah potensi human error dalam penulisan/penginputan angka pada tiap transaksi dapat ditekan.
Manfaat lainnya, ini mungkin tidak terlalu signifikan, adalah pengaruh psikologi, di mana hitungan konversi kita ke mata uang dolar tidak Rp15.000, tapi katakan menjadi Rp15, kesannya kan kita wah berarti antara mata uang kita dan AS tidak jauh beda.
Contoh redenominasi yang sukses adalah Turki. Di Turki awalnya $1 sama dengan 1,5 juta Lira. Setelah dilakukan redenomisasi, $1 sama dengan 1,8 Lira. Dengan demikian, mata uang Lira terkesan lebih sejajar dengan mata uang USD. Turki butuh 7 tahun untuk menyesuaikan diri.
Mata uang Rumania Lei (ROL) diganti menjadi Leu (RON) dengan memangkas 4 angka di belakang. Misalnya 10,000 Lei menjadi 1 Leu. Cara tersebut, membuat nilai mata uang Rumania pada tahun 2002 stabil.
Pemerintah Ukraina pada 1996 melakukan penggantian mata uang Ukraina usai pisah dari Uni Soviet. Mata uang kabovanets menjadi hryvnias dengan menyederhanakan 5 angka terakhir. Misalnya, 100.000 kabovantsiv diganti menjadi 1 hryvnias.
Yang lebih dulu melakukan adalah Hunggaria tahun 1946. Mata uang Hungaria diubah dari pengÅ‘ menjadi forint dengan nilai tukar 400 octillion menjadi 1. Uang kertas denominasi tertinggi, ketika itu memiliki nilai 20 octillion (2×1027) pengÅ‘s, dan nilai tukarnya hanya USD 0,0435.
Manfaat psikologi redenominasi ini pernah dikemukakan. Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2013-2018 Agus Martowardojo dan ekonom senior Indonesia, Raden Pardede.
Walaupun misalnya redenominasi ditempuh Imdonesia tidak berarti seketika memperkuat kurs rupiah terhadap dolar AS. Nilai tukar itu bisa menguat tergantung faktor fundamentalnya, seperti kinerja neraca pembayaran, inflasi, pertumbuhan ekonomi, aliran keluar masuk modal asing, dan pertumbuhan utang.
Meski sudah disampaikan kebijakan redenominasi rupiah ini ke publik, namun Menkeu Purbaya menggaris bawahi, "Redenominasi itu kebijakan bank sentral, dia (redenominasi) nantinya diterapkan sesuai dengan ketentuan pada waktunya, tapi enggak sekarang, enggak tahun depan,” kata Purbaya usai acara Dies Natalis ke-71 Universitas Airlangga, Surabaya, Selasa 11 November 2025.
Dalam PMK No.70/2025 tertulis:
RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027. (Oce)
