Mempertimbangkan Neraca Kritik Teks atas Anugerah Fiksi Non Fiksi Satupena dan Dermakata Award 2025
oleh ReO Fiksiwan
„Penulis hanya dapat melayani umat manusia sejauh penulis menggunakan kata-kata untuk menjelajahi, menyelidiki, mempertanyakan, dan menegaskan kompleksitas keberadaan manusia.“ — Nadine Gordimer(1923-2014), Nobel Sastra 1991, Writing and Being(1991).
Anugerah sastra dan kebudayaan selalu menjadi panggung yang menyingkap bukan hanya karya, tetapi juga cara kita menilai dan mengapresiasi.
Satupena Award, Dermakata Award, dan Puisi Esai Award tahun 2025 menghadirkan serangkaian kemenangan yang sepenuhnya lahir dari narasi apresiatif Ketua Umum Satupena, Denny JA(62).
Empat artikelnya tentang Sutardji Calzoum Bachri(84), Sindhunata(73), Kaisar Deem(34) dan Fatin Hamama(58) menjadi neraca tunggal yang dapat dicerna publik.
Sementara, menjadi kurang gres dan afdol — jika tim juri yang terdiri dari Anwar Putra Bay, Dhenok Kristiadi, Hamri Manoppo, Muhammad Thobroni, Wayan Suyadnya, Victor Manengkey, dan Okky Madasari — belum atau tidak sama sekali membagi secuil pun catatan evaluatif mereka agar bisa menambah bobot penilaian teks-teks fiksi.
Bagaimana pun, fondasi bagi seluruh denyut kebudayaan bersumber dari jantungnya: bahasa. Dan dari bahasa diperoleh menikmati kelancaran alir darahnya, kritik teks atau naratologi, yang telah dan akan terus dilahirkannya.
Di sini, juri seperti plot film The Juror(1996) dengan artis, Demi Moore(62), vital dan fungsional untuk melawaskan kecintaan para pemuja dan penekun teks-teks fiksi(bio-teks) dalam menikmati aliran darah teks-teks fiksi yang dimaksud.
Sutardji Calzoum Bachri, dengan reputasi panjang sebagai “Presiden Penyair Indonesia,” — juga dikenal dengan kredo dan mantranya — memang layak menerima Lifetime Achievement Award.
Argumentasi Denny JA dalam artikelnya menegaskan posisi Sutardji sebagai ikon yang mengubah lanskap puisi Indonesia.
Namun, apresiasi semacam ini lebih menyerupai pengulangan mitos ketokohan daripada kritik teks yang menelisik sejarah teks fiksinya.
Sindhunata(73), dengan karya non-fiksi yang kaya refleksi sosial dan religius, memang sedikit mendapat respons kritik apresiatif dari ReO Fiksiwan, tetapi tetap saja narasi kemenangan lebih banyak bertumpu pada pujian personal daripada analisis akademis.
Demikian pula, Kaisar Deem(34) dan Fatin Hamama(58) bahkan lebih problematis: karya fiksi mereka belum sepenuhnya terbaca secara luas, sehingga alasan kemenangan hanya bergantung pada artikel Denny JA, tanpa dukungan kritik teks yang memadai dari publik sastra umumnya.
Di sinilah problem neraca anugerah ini muncul. Tanpa catatan evaluatif dari tim juri, kemenangan para peraih award terasa seperti keputusan administratif yang disahkan lewat retorika apresiatif.
Padahal, metode kritik teks sebagaimana dikemukakan Umberto Eco(1932-2016), novelis, kritikus sastra, dan semiotikus, dalam Misreading(1993; 2020) mengingatkan bahwa pembacaan karya sastra selalu terbuka pada kesalahpahaman produktif yang justru memperkaya makna.
Demikian hal, Martin Heidegger(1889-1976) dalam Poetry, Language, Thought(2001) menekankan bahwa puisi adalah jalan menuju kebenaran ontologis, sehingga kritik harus menyingkap lapisan bahasa dan makna, bukan sekadar mengulang reputasi.
Ia katakan: „Semua jarak dalam ruang dan waktu menyusut. […] Namun penghapusan semua jarak secara panik tidak membawa kedekatan; karena kedekatan tidak terdiri dari jarak yang pendek.“
Ungkapan ini merupakan kritik terhadap cara modernitas memperlakukan teks dan pengalaman: kedekatan semu yang dihasilkan oleh teknologi atau representasi tidak otomatis menghadirkan pemahaman.
Dalam konteks kritik teks fiksi, Heidegger mengingatkan bahwa karya sastra harus dibaca sebagai pengalaman bahasa yang membuka kebenaran, bukan sekadar jarak yang dihapus oleh representasi.
Sementara Raman Selden, Peter Widdowson, dan Peter Brooker dalam A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory(2005) menegaskan perlunya kerangka teori untuk menilai karya fiksi secara akademis, agar apresiasi tidak jatuh menjadi sekadar glorifikasi.
Dengan asumsi evaluatif dari empat artikel Denny JA, terlihat jelas kekurangan nutrisi kritik teks fiksi yang sedikit akademis. Meski tentu, kritik akademik hanya satu dari sekian metode kritik fiksi.
Kemenangan Kaisar Deem dan Fatin Hamama, misalnya, pantas dikritik lagi dari perspektif teori sastra kontemporer, karena tanpa analisis tekstual, penghargaan hanya menjadi simbol sosial, bukan otonomi dan legitimasi teks fiksi resepsi-estetik belaka.
Sindhunata dan Sutardji memang memiliki jejak panjang yang bisa dipertanggungjawabkan, tetapi tetap saja perlu ditopang oleh kritik yang menyingkap kedalaman karya, bukan sekadar mengulang nama besar.
Artikel ini sengaja diajukan bukan untuk menafikan kemenangan yang telah dihasilkan tanpa secuil pun catatan kritis dari tim juri.
Semisal, seberapa luas resepsi atas teks-teks mereka yang bisa dibahas atau dianalisis pada skripsi, tesis hingga disertasi di perguruan tinggi sebagai institusi otoritas keilmuan sastra dan bahasa.
Sebab, anugerah sastra dan kebudayaan seharusnya menjadi ruang dialektika antara karya, kritik, dan publik, bukan sekadar panggung apresiasi yang kehilangan neraca akademisnya.
Tanpa kritik teks yang memadai, kemenangan hanya menjadi perayaan kosong, sementara karya yang seharusnya dibaca, ditafsirkan, dan diperdebatkan justru dibiarkan berdiri tanpa sandaran bersama kemenangan kedap kritik.
#coversongs: Maurice Jarre lahir 13 September 1924 di Lyon, Prancis dan wafat 28 Maret 2009 di Los Angeles pada usia 84 tahun.
Musik Carpe Diem(From "Dead Poets Society") dirilis sebagai bagian dari soundtrack film Dead Poets Society pada tahun 1990 dan dibintangi Robin Williams(1951-2014).
Makna musiknya adalah ajakan untuk “seize the day” atau meraih hari ini, sebuah refleksi musikal tentang kebebasan, keberanian, dan semangat hidup yang menjadi inti pesan film.
Istilah “Carpe diem” berasal dari Horace (Quintus Horatius Flaccus), seorang penyair Romawi yang hidup pada abad ke-1 SM.
Ia menuliskan frasa ini dalam karya Odes(23 SM). Selengkapnya: Carpe diem, quam minimum credula postero. Alihbasa: “Nikmatilah hari ini, dan percayalah sesedikit mungkin pada hari esok.”
dari Nalar Konstitusi
