News Breaking
Live
update

Breaking News

Sony: Sang Visioner yang Selalu Kehilangan Panggung. Apa Penyebabnya?

Sony: Sang Visioner yang Selalu Kehilangan Panggung. Apa Penyebabnya?



tanjakNews -- ADA sebuah ironi besar dalam sejarah bisnis modern: Sony, perusahaan yang selalu melihat masa depan lebih cepat dari orang lain, justru berkali-kali menjadi penonton di panggung yang mereka sendiri bangun.

Bayangkan—di era televisi hitam-putih, ketika semua orang masih terpukau dengan gambar buram di layar kotak, Masaru Ibuka, pendiri Sony, nekat melawan arus. Ia menciptakan teknologi sendiri, gagal total, hampir bangkrut, tapi bangkit lagi dengan Trinitron. Hasilnya? Dunia terpana. Selama puluhan tahun, Trinitron jadi simbol kualitas, menguasai pasar, dan membuktikan bahwa Sony memang berbeda.

Tapi begitu layar datar muncul, apa yang terjadi? Sony bertahan dengan kejayaan lamanya. Sementara itu, Samsung dan LG berlari kencang. Sony kalah di jalannya sendiri.

Walkman: Ikon yang Tersingkir

Tahun 1979, dunia diubah oleh sebuah kotak kecil bernama Walkman. Untuk pertama kalinya, musik bisa dibawa ke mana saja. Orang-orang berlari, bekerja, jatuh cinta, dan patah hati dengan Walkman di telinga. Ia bukan sekadar produk, ia adalah gaya hidup.

Namun, saat dunia masuk ke era digital, Sony tetap bersikeras dengan MiniDisc dan software tertutupnya. Mereka menutup mata pada MP3. Lalu datanglah Apple dengan iPod dan iTunes—mudah, simpel, dan keren. Publik langsung berpindah hati. Ikon global itu tumbang begitu saja.

CD, DVD, dan Blu-ray: Pemenang yang Kehilangan Momentum

Sony bersama Philips menciptakan CD—simbol modernitas, kualitas, dan keabadian musik. Lalu mereka juga memenangkan “perang format” dengan Blu-ray melawan Toshiba. Hebat, bukan?

Tapi kemudian Netflix dan iTunes masuk. Dunia beralih ke streaming. Ironisnya, Sony punya semuanya—perangkat, studio film, label musik—tapi mereka gagal menyatukan kekuatan itu. Mereka sibuk berdiri sendiri-sendiri. Sony tetap menjual cakram, sementara dunia sudah hidup di awan digital.

Sony Ericsson P900: Inovasi yang Kehilangan Arah

Tiga tahun sebelum iPhone, Sony sudah merilis P900. Layar sentuh, stylus, multitasking, bahkan bisa menjalankan aplikasi pihak ketiga. Sebuah komputer mini di genggaman.

Namun Sony tak tahu bagaimana merawatnya. Tanpa ekosistem, tanpa narasi, tanpa keberanian untuk mendorongnya menjadi standar baru. P900 akhirnya hanya jadi catatan kaki. Lalu Apple masuk dengan iPhone: sederhana, menyatu, dan punya cerita besar. Sejarah pun berubah arah.

Baterai Lithium-ion: Inovasi yang Dijual Murah

Tahun 1991, Sony mempelopori baterai lithium-ion. Teknologi ini kini menggerakkan hampir semua smartphone dan mobil listrik. Tapi alih-alih jadi penguasa energi masa depan, Sony malah menjual bisnis baterainya ke Murata pada 2017.

Kini, nama Sony bahkan tak muncul dalam peta industri baterai global. Sebuah ironi yang pahit.

PlayStation: Satu-satunya Panggung yang Tak Hilang

Namun, di antara semua kegagalan, ada satu kisah berbeda: PlayStation.
Awalnya hanyalah proyek balasan karena dikhianati Nintendo. Tapi kali ini Sony melakukan sesuatu yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya: bukan hanya menciptakan perangkat, tapi membangun ekosistem. Mereka mengundang developer, menciptakan komunitas, melahirkan pengalaman hidup.

Final Fantasy, Tekken, Metal Gear Solid, Gran Turismo—semua lahir di rumah baru bernama PlayStation. Di sinilah Sony berhasil bukan hanya menjual teknologi, tapi membangun ruang yang membuat orang ingin menetap.

PlayStation bukan sekadar konsol, ia adalah dunia. Dan sampai hari ini, dunia itu masih terus tumbuh.

Pelajaran Besar dari Sony

Kisah Sony memberi kita tiga pelajaran penting:

1. Menjadi yang pertama tidak menjamin menjadi yang terbesar.
   Sony berkali-kali merintis jalan, tapi yang menang adalah mereka yang bisa membangun sistem, menguasai pasar, dan menjaga konsistensi.

2. Inovasi sejati tak berhenti di produk.
   Orang tidak lagi sekadar membeli barang. Mereka ingin tinggal dalam ekosistem, merasakan pengalaman, dan menjadi bagian dari cerita. Di sinilah Sony sering kalah.

3. Kejeniusan tanpa konsistensi hanyalah kilatan sesaat.
   Sony pandai menciptakan, tapi sering lalai membesarkan. Padahal, yang bertahan bukanlah yang paling canggih, melainkan yang mampu berkembang bersama penggunanya.

Akhir yang Menggugah

Sony adalah simbol paradoks: genius yang kesepian, pionir yang tertinggal, visioner yang gagal memetik buah. Tetapi lewat PlayStation, mereka menunjukkan bahwa ketika teknologi bertemu pengalaman, ketika produk disatukan dengan cerita, maka lahirlah keabadian.

Kisah Sony bukan sekadar sejarah perusahaan. Ia adalah cermin untuk semua inovator, pengusaha, bahkan kita pribadi:
Bahwa ide besar saja tidak cukup. Yang menentukan adalah keberanian membangun, kesabaran menumbuhkan, dan konsistensi menjaga.

Karena melihat masa depan itu mudah.
Tapi menjadikannya milik kita—itulah perjuangan sesungguhnya.

---
#ceritabisnis
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

Sumber: dikutip dari Pecah Telur (FB)

Tags