News Breaking
Live
update

Breaking News

Paradoks Pengetatan Ikat Pinggang Pemerintahan Prabowo

Paradoks Pengetatan Ikat Pinggang Pemerintahan Prabowo



tanjakNews.com, PEKANBARU - Ada banyak kewajiban Pemprov Riau yang harus dibayarkan. Seperti tunda bayar, tunda salur, dan hutang-hutang daerah. Gubernur Riau Abdul Wahid mengambil kebijakan penghematan anggaran, utamanya di berbagai OPD.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mengambil langkah tegas dengan melakukan efisiensi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2025. Kebijakan ini diberlakukan untuk seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sebagai respons terhadap aturan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

"Setelah dikaji dan dilihat jika anggaran di OPD ini di-nol-kan dalam kegiatan tahun ini, itupun tidak cukup untuk membiayai proses tunda bayar dan tunda salur dan hutang-hutang. Ini sangat berat tantangan dan tim harus bekerja semaksimal mungkin untuk mengatasi dan mencarikan solusinya," ungkap Gubri Abdul Wahid.

Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Taufiq Oesman Hamid, mengungkapkan bahwa Pemprov Riau telah merumuskan kebijakan efisiensi belanja APBD 2025. Langkah ini bukan sekadar pemangkasan anggaran, melainkan strategi untuk mengoptimalkan kinerja pemerintahan di tengah keterbatasan sumber daya.

"Terkait efisiensi anggaran, itu terkait inpres ada turunan dari Inpres yaitu Kemenka, angka-angka efisiensi, contoh yang sudah dilakukan itu perjalanan dinas yang dipotong 50 Persen. Kami juga sudah rapat bersama gubernur besaran-besaran efisiensi lain, contoh makan dan minum pembayaran gedung, FGD, ATK, itu sudah ada angka-angkanya dan disosialisasi ke OPD, dan mengikuti sesuai angka yang sudah ditentukan," beber Pj Sekdaprov Riau, Taufiq OH, dikutip Media Center Riau.

Dalam surat edaran yang diterbitkan, Pemprov Riau menginstruksikan seluruh OPD untuk menyesuaikan belanja mereka. Langkah-langkah efisiensi yang diambil meliputi pengurangan anggaran perjalanan dinas sebesar 50 persen, pemotongan anggaran seminar dan Focus Group Discussion (FGD) sebesar 80 persen, serta pengurangan anggaran sewa gedung dan bangunan sebesar 75 persen.

Taufiq menjelaskan bahwa efisiensi ini merupakan langkah krusial untuk memastikan penggunaan anggaran yang lebih efektif dan terfokus pada program-program prioritas yang memberikan dampak langsung bagi masyarakat. 

"Bukan berarti kita hanya sekadar memangkas anggaran, tetapi kita ingin memastikan bahwa setiap anggaran yang dikeluarkan benar-benar memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat," tegasnya.

Lebih lanjut, Taufiq menekankan pentingnya efisiensi ini untuk tidak menghambat jalannya roda pemerintahan. Sebaliknya, efisiensi ini diharapkan dapat mendorong kreativitas dan inovasi dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dengan anggaran yang lebih terukur.

"Kita ingin membangun budaya kerja yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Ini bukan hanya tentang pengurangan angka, tetapi juga tentang perubahan pola pikir dalam pengelolaan keuangan daerah," tambahnya.

Pemprov Riau berharap bahwa langkah ini akan meningkatkan efektivitas birokrasi dan menjaga stabilitas keuangan daerah. Dengan demikian, Pemprov Riau dapat terus memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat di tengah berbagai tantangan fiskal yang ada.

Instruksi Presiden Prabowo

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 resmi mengeluarkan kebijakan pemotongan anggaran di sejumlah sektor pemerintah guna efisien anggaran.

Instruksi Presiden ini dikeluarkan, alasannya, sebagai langkah responsif terhadap kondisi perekonomian global yang masih penuh ketidakpastian, serta untuk menjaga keseimbangan anggaran negara dan memastikan bahwa penggunaan dana negara lebih terfokus pada program-program yang memiliki dampak langsung terhadap masyarakat.

Poin kelima pada inpres tersebut meingtruksikan kepada Menteri Keuangan untuk:

a. besaran efisiensi anggaran belanja masing-masing Kementerian/kmbaga Tahun Anggaran 2025 sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA huruf a.

b. Menetapkan penyesuaian alokasi Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2O25 sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA huruf b yang berasal dari:

1) Kurang Bayar Dana Bagi Hasil sebesar Rp13.903.976.216.000;

2) Dana Alokasi Umum yang sudah ditentukan penggunaarnnya bidang pekerjaan umum sebesar Rp15.675.550. 111.000;

3). Dana Alokasi Khusus Fisik sebesar Rp18.306.195.715.000;

4) Dana Otonomi Khusus sebesar Rp509.455.378.000;

5) Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yograkarta sebesar Rp200.000.000.000; dan

6) Dana Desa sebesar Rp2.000.000.000.000.

c. Melakukan revisi anggaran Kementerian/ lembaga dengan memblokir anggaran dan dicantumkan pada catatan halaman IVA Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

d. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk pelaksanaan Instruksi Presiden.

Meingtruksikan Menteri Dalam Negeri untuk:

a. Melakukan pemantauan efrsiensi belanja yang dilakukan oleh Gubernur dan Bupati/Wali Kota dalam pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2025 Fribagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPAT

b. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna pengelolaan APBD Tahun Anggaran 2025 dal,am rangka pelaksanaan Instruksi Presiden ini.

Dampak pada Anggaran Pemerintah

Pemotongan anggaran ini diperkirakan akan mengurangi defisit anggaran. Pemerintah juga akan mengalihkan sebagian anggaran yang dipotong untuk mendanai sektor-sektor yang lebih mendesak dan berdampak langsung pada masyarakat, serta untuk mempercepat pemulihan ekonomi.

Kritik Pengamat

Proses penyisiran dan pemangkasan anggaran di seluruh kementerian dan lembaga (K/L) selesai dibahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 14 Februari 2025 atau sekitar dua pekan lalu. Total anggaran yang dipangkas, sesuai pernyataan Prabowo di acara HUT Partai Gerindra, adalah Rp308 triliun. 

Akan tetapi, sampai saat ini, pemerintah belum memberi penjelasan resmi dan komprehensif mengenai tindak lanjut kebijakan itu. Dikutip dari Kompas.com, Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Riandy Laksono menyoroti beberapa hal yang tidak dijelaskan pemerintah secara jujur dan transparan.

Pertama, pemanfaatan hasil pemangkasan anggaran alias program apa saja yang akan diberikan tambahan anggaran dari hasil efisiensi. Kedua, seperti apa sebenarnya hitung-hitungan dampak dari kebijakan efisiensi anggaran itu terhadap roda perekonomian.

”Setelah efisiensi, dialihkan ke mana? Pemerintah tidak transparan dalam menunjukkan buktinya. Sekarang ini semua ”buta” dan hanya klaim-klaim saja yang beredar di pemerintah,” kata Riandy dalam diskusi ”Efisiensi Anggaran dan Pembentukan Danantara: Peluang Ekonomi atau Tantangan Fiskal” di Jakarta, Selasa (25/2/2025).

Pascaefisiensi, informasi tentang pemanfaatan hasil pemangkasan baru disampaikan oleh Prabowo melalui dua kesempatan pidato yang tidak ada kaitannya dengan kebijakan efisiensi. Informasi yang disampaikan pun cenderung simpang-siur dan inkonsisten.

Awalnya, saat berpidato di acara HUT Partai Gerindra, 15 Februari 2025, Prabowo menyebut ada total Rp750 triliun ”tabungan” yang dimiliki pemerintah, salah satunya dari hasil efisiensi. Sebanyak 24 miliar dollar AS atau Rp390 triliun dari dana tersebut akan dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Sisanya, senilai 20 miliar dollar AS atau setara Rp325 triliun disuntikkan ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Sumber terbesarnya adalah dari hasil dividen badan usaha milik negara (BUMN) yang jumlah efektifnya Rp200 triliun.

Namun, saat meluncurkan BPI Danantara, 24 Februari 2025, Prabowo menyebut bahwa hasil efisiensi yang dilakukan pemerintah di 100 hari pertama dengan nilai lebih dari Rp 300 triliun akan diinvestasikan ke Danantara sebagai modal awal. 

Ugal-ugalan

Sementara itu, dosen FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Umar Sholahudin menilai kebijakan efisiensi anggaran pada era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka merupakan sebuah paradoks.

"Kebijakan efisiensi anggaran tahun 2025 diatur dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara dengan mengoptimalkan alokasi anggaran dan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu," katanya dalam seminar nasional yang digelar di aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember (Unej), Jumat (14/3/2025).

Hal itu menjadi langkah strategis pemerintah dalam mengelola belanja negara secara lebih efektif sekaligus menekan defisit fiskal yang diproyeksikan mencapai Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Kendati demikian, Umar memberikan catatan kritis terkait dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo karena tidak akan sepenuhnya efektif selama struktur kabinet tetap gemuk.

"Besarnya biaya birokrasi bisa mengimbangi atau bahkan melebihi penghematan yang dihasilkan dari pemangkasan di pos anggaran lain. Kebijakan efisiensi anggaran harus transparan," ujarnya.

Umar mengutarakan bahwa pemangkasan anggaran yang ugal-ugalan dapat berdampak pada pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.

PNS Menengah Bawah Terpukul

Lain lagi masalah efisiensi anggaran dan hubungannya dengan kesejahteraan PNS. Seperti dijelaskan Husni Rohman Perencana Madya di Kementerian PPN/Bappenas yang dimuat di detikcom pada Rabu (12/3/2025) lalu. Di mana dikatakan, imbas dari kebijakan efisiensi anggaran terus bermunculan hingga saat ini. Terbaru, sektor perhotelan mengaku terdampak dari kebijakan ini dalam bentuk penurunan pendapatan yang berpotensi menimbulkan PHK. Lalu, siapa yang lagi yang sebetulnya terkena dampak dari efisiensi?

Sebelumnya, dalam Inpres 1/2025, Presiden memerintahkan para menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah untuk melakukan efisiensi pada beberapa item anggaran, di antaranya belanja operasional perkantoran, perjalanan dinas, dan belanja honorarium. Efisiensi atas anggaran belanja negara ditargetkan sebesar Rp 306 triliun.

Merespons instruksi tersebut, beberapa Kementerian/Lembaga (K/L) telah mengeluarkan kebijakan internal sebagai langkah antisipatif. Langkah-langkah tersebut di antaranya pemberlakuan jam kerja fleksibel (flexible working arrangement), pembatasan operasional sarana perkantoran, serta peniadaan forum-forum seminar dan diskusi.

Secara eksternal, efisiensi dikhawatirkan akan berpotensi mengganggu kinerja pelayanan beberapa K/L, seperti layanan perlindungan saksi oleh LPSK, seleksi calon hakim agung oleh Komisi Yudisial, layanan pengaduan HAM oleh Komnas HAM, dan layanan pengaduan pelayanan publik oleh Ombudsman RI.

Inefisiensi anggaran belanja negara memang terus-menerus menjadi persoalan. Misalnya, pada 2023 BPKP menemukan Rp 141 triliun belanja daerah yang tidak efektif dan efisien. Contoh lain, pada 2019 Kemen PAN RB menemukan potensi inefisiensi dan inefektivitas dari pengeluaran dalam APBN/APBD sejumlah Rp 392 triliun.

Inefisiensi tersebut disebabkan karena banyaknya alokasi anggaran untuk komponen-komponen pendukung kegiatan, seperti perjalanan dinas, honorarium, dan penyelenggaraan rapat. Anggaran perjalanan dinas meningkat dari Rp 39 triliun pada 2022 menjadi Rp 49 triliun pada 2023. Adapun anggaran honorarium meningkat dari Rp 1,4 triliun pada 2022 menjadi 1,5 triliun pada 2023.

Pertanyaannya, mengapa anggaran komponen-komponen pendukung jumlahnya sangat besar? Hal ini tidak lain karena para PNS memperoleh penghasilan tambahan dari setiap perjalanan dinas dan honorarium tersebut. Pertanyaan berikutnya, kenapa PNS perlu mencari penghasilan tambahkan? Jawabannya, karena belum semua PNS memiliki kesejahteraan yang cukup.

Sebagai gambaran, gaji PNS bergelar sarjana dengan masa kerja 0 tahun (fresh graduate) sejumlah Rp 2,7 juta. Adapun gaji PNS dengan pangkat tertinggi dengan masa kerja 30 tahun sejumlah Rp 6,3 juta. Sebagai perbandingan, UMK tertinggi yakni di Kota Bekasi sebesar Rp 5,3 juta.

Untuk menutup kekurangan tersebut maka kebijakan pemberian remunerasi diberlakukan. Namun, kebijakan tersebut belum dapat menyelesaikan persoalan karena terjadi ketimpangan besaran tunjangan kinerja yang diterima oleh PNS antar K/L dan antar pemda. Ketimpangan tersebut memunculkan istilah kementerian/pemda "sultan" sebagai antitesis dari kementerian/pemda "jelata".

Bagi PNS golongan menengah-bawah yang bergaji kecil dan bekerja di K/L/pemda dengan tunjangan yang tidak seberapa maka belanja rapat dan perjalanan dinas serta honorarium menjadi jaring pengaman.

Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN) per Juli 2024, PNS golongan menengah-bawah (di luar jabatan pimpinan tinggi) berjumlah sekitar 3,6 juta. Angka itu terdiri dari sekitar 100 ribu pejabat administrator, sekitar 200 ribu pejabat pengawas, sekitar 9 ribu pejabat eselon V, sekitar 2,2 juta pejabat fungsional, dan sekitar 1 juta pelaksana.

Mayoritas PNS golongan menengah-bawah tersebut menduduki kategori jabatan non-manajerial yang bertugas memberikan pelayanan dan melakukan pekerjaan sesuai dengan keahlian/keterampilan tertentu, seperti dosen, guru, tenaga medis, penyuluh, analis kebijakan, perencana, peneliti, dan lain sebagainya.

Kebijakan efisiensi anggaran dapat memukul PNS golongan menengah-bawah dari dua sisi sekaligus. Sisi pertama, tambahan penghasilan para PNS yang bersumber dari perjalanan dinas dan honorarium dihilangkan. Sisi kedua, fasilitas kerja para PNS ini dibatasi, seperti alat tulis kantor, bahan komputer, dan bus/mobil jemputan pegawai.

Isu kesejahteraan PNS seringkali diabaikan karena berpotensi memunculkan resistensi masyarakat. Pengabaian atas isu ini menjadi sesuatu yang lumrah di tengah praktik bureaucracy bashing (Garrett, Thurber, Fritschler, Rosenbloom, 2006). Jika terus diabaikan maka program reformasi birokrasi berpotensi jalan di tempat.

Efisiensi anggaran seyogianya perlu diiringi dengan perbaikan kesejahteraan PNS secara sistematis dan bertahap. Astacita mengamanatkan perbaikan struktur penggajian, sistem insentif, tunjangan/fasilitas, serta memperketat pengawasan kinerja PNS. Kesemuanya itu harus dengan mengedepankan prinsip keadilan, kelayakan, dan competitiveness. (*)

Tags