Penampilan Sultan Agung Mataram Dalam Catatan Orang Eropa
tanjakNews.com -- Sultan Agung dari Mataram adalah sultan Mataram ketiga yang memerintah dari tahun 1613-1645.
Sultan Agung (bahasa Jawa: ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀ꦲꦒꦸꦁꦲꦢꦶꦥꦿꦧꦸꦲꦚꦏꦿꦏꦸꦱꦸꦩ, Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma; lahir di Kotagede, 1593 – meninggal di Karta, 1645).
Ia adalah seorang sultan sekaligus senapati ing ngalaga (panglima perang) yang terampil ia membangun negerinya dan mengkonsolidasikan kesultanannya menjadi kekuatan teritorial dan militer yang besar.
Nama takhtanya adalah "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi"
Sedangkan nama anumertanya adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi".
Sastra Belanda menulis namanya sebagai Agoeng de Grote (secara harfiah, "Agoeng yang Besar").
Sultan Agung menjadi sultan dari Kesultanan Mataram pada tahun 1613 M. Masa pemerintahannya berlangsung hingga tahun 1645 M. Ia naik takhta untuk menggantikan posisi dari Pangeran Martapura. Sultan Agung ketika menjadi raja baru berusia 20 tahun. Pangeran Martapura merupakan saudara tirinya yang menjadi Sultan Mataram ketiga selama satu hari. Sultan Agung secara teknis adalah sultan Mataram keempat, tetapi ia umumnya dianggap sebagai sultan ketiga, karena penobatan saudara tirinya yang tunagrahita hanya untuk memenuhi janji ayahnya kepada istrinya, Ratu Tulungayu, ibu Pangeran Martapura.
Mengenai keadaan fisik Sultan, Dokter H. de Haen menyatakan bahwa Pangeran Ingalaga ini adalah seorang yang berada pada puncak kehidupannya, berusia kurang lebih 20 atau 30 tahun dan berbadan bagus.
Kulitnya sedikit hitam daripada orang Jawa pada umumnya, hidungnya kecil dan tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam berbahasa, lamban jika berbicara, berwajah tenang dan bulat, serta kelihatan cerdas. Akan tetapi, jika ia memandang orang di sekelilingnya seperti singa. Dalam hal ini, De Haen mengira bahwa Sultan Agung lahir sekitar tahun 1592-1594 karena ia menulis ini pada tahun 1622.
Adapun mengenai penampilan Sultan, pakaian yang dikenakannya juga cukup menarik perhatian. Pakaian yang dikenakannya tidak jauh berbeda dengan pakaian orang Jawa pada umumnya yang terbuat dari kain dalam negeri berbatik putih biru.
Sultan juga menggunakan kopyah dari kain linen yang dipastikan adalah kuluk putih yang sejak masuknya agama Islam dikenakan oleh mereka yang taat atau yang ingin dianggap taat beribadah. Ditambah lagi dengan keris di badan bagian depan serta ikat pinggang dari emas.
Pada bagian jemarinya dihiasi cincin dengan banyak intan yang gemerlapan. Keris di sini dipakai di depan yang berbeda dengan kebiasaan orang-orang Jawa pada umumnya.
Gambaran di atas berbeda dengan keterangan seorang utusan Jan Vos yang juga pernah memperhatikan raja pada tahun 1624. Baju yang dikenakan Sultan adalah sebuah kain batik panjang dari Koromandel dengan pola mosaik, panjang 5,10 m dan lebar 64 cm.
Kerisnya sederhana dipakainya di bagian belakang badan, dan jari-jarinya dihiasi dengan cincin bermata empat atau lima butir intan, badan bagian atas diberi baju dari beledu hitam dihias gambar daun-daun keemasan dalam bentuk bunga yang tersusun. Bahkan juga sempat diberitakan bahwa Sultan memakai terompah dari kayu, seperti sekarang ini yang masih dipakai orang muslim yang saleh. Selama audiensi Sultan merokok pipa yang berlapis perak yang dilarang keras bagi para pembesarnya.
Dari sini dapat diketahui bahwa keterangan mengenai penampilan Sultan Agung memang bermacam- macam. Namun demikian, sedikit banyak bisa dibayangkan bahwa penampilan raja ketiga dari kerajaan Mataram ini sangat terlihat ke-Jawaannya.
Pencetus kalender Jawa
Sultan Agung juga dikenal sebagai pendiri kalender Jawa yang masih digunakan hingga saat ini. Selain itu, Sultan Agung telah menulis karya sastra berjudul Serat Sastra Gendhing, yang terdiri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas mengenai filosofi hubungan sastra dan gendhing. Ajaran-ajaran mengenai hubungan kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan. Menyatukan sastra dan bunyi gendhing.
Di lingkungan karaton Mataram, Sultan Agung membentuk bahasa standar yang disebut bahasa Bagongan, digunakan oleh para bangsawan dan pejabat Mataram untuk menghilangkan kesenjangan di antara para bangsawan dan keluarga raja. Bahasa itu diciptakan untuk membentuk persatuan antara pejabat karaton.
Pengaruh politik feodal Sultan Agung menjadikan diberlakukannya penggunaan tingkatan bahasa di wilayah Jawa Barat, ditandai dengan penciptaan bahasa yang disempurnakan yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Warisan struktur pemerintahan
Warisan utama Sultan Agung terletak pada reformasi administrasi yang ia lakukan di wilayah otoritasnya. Ia menciptakan struktur administrasi yang inovatif dan rasional. Dia menciptakan "provinsi" dengan menunjuk orang sebagai Adipati sebagai kepala wilayah Kadipaten, khususnya wilayah-wilayah di bagian barat Jawa, di mana Mataram menghadapi Belanda di Batavia. Sebuah kabupaten seperti Karawang, misalnya, diciptakan ketika Sultan Agung mengangkat pangeran Kertabumi sebagai adipati pertamanya pada 1636.
Di masa ketika Belanda menguasai Nusantara, mereka mempertahankan struktur administrasi yang diwarisi oleh Sultan Agung. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara, oleh mereka kabupaten disebut regentschappen. Gelar bupati umumnya terdiri atas nama resmi, misalnya "Sastradiningrat" dalam kasus Karawang, didahului oleh "Raden Aria Adipati", maka "Raden Aria Adipati Sastradiningrat" (disingkat menjadi RAA Sastradiningrat). Kata adipati bertahan dalam sistem pemerintahan kolonial.
Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia mempertahankan istilah Kabupaten tetapi membubarkan residen pada tahun 1950-an, sehingga kabupaten menjadi subdivisi administratif langsung di bawah provinsi. Undang-undang tentang otonomi daerah yang diundangkan pada tahun 1999 memberikan otonomi tingkat tinggi kepada kabupaten, bukan kepada provinsi. Warisan Sultan Agung juga diakui oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini.
Sultan Agung dihormati di Jawa secara kontemporer baik perjuangannya membela tanah air, warisan tradisi atau budaya yang ia sumbangkan untuk negara. Di era presiden Soeharto ia dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Sumber: Sejarah Cirebon, Wikipedia

