News Breaking
Live
update

Breaking News

Pawang Hujan

Pawang Hujan




Oleh: All Amin

Terkait kesehatan badan Mbah Sukim sama sekali tidak khawatir. Selama pandemi Covid-19 ini tak sekali pun ia memakai masker. Baginya masker itu mengganggu. Sebab dari mulut Mbah Sukim hampir tak putus mengepul asap rokok. Serupa cerobong lokomotif kereta api.

Menurut Cing Mamad, sohib Mbah Sukim, virus Covid enggak bakalan bisa hidup di paru-paru Mbah Sukim. Lintah saja bisa mati bila menempel di situ. Saking beracunnya. Tertutup oleh tar nikotin.

Penyebab risau Mbah Sukim adalah kesehatan kantongnya yang terganggu. Telah lama aliran fulusnya tersendat. Sudah SOS. Pandemi telah menjungkal balikan periuk nasi Mbah Sukim.




Biasanya di mana ada keramaian; kondangan, pergelaran pentas musik, layar tancap, kampanye partai, dsb, dipastikan Mbah Sukim selalu ada di sekitar lokasi itu. Ia duduk menyendiri, memojok sambil merokok. Menjadi pawang hujan.

Selama berpraktik menahan hujan, Mbah Sukim tak boleh berhenti merokok. Santer kabarnya; asap rokok yang diembuskan oleh Mbah Sukim itu akan naik ke langit. Lalu asap rokok itulah yang nanti berbicara, mengajak rombongan awan-awan supaya menjauh dari lokasi itu. Agar hujannya berpindah ke tempat lain.

Kini sudah dua tahun Mbah Sukim tak mendapat orderan. Asap rokoknya pun turut bebas tugas.

Pemerintah sedang melarang orang membuat acara keramaian. Bahkan Mbah Sukim mendengar cerita, bahwa di tempat lain ada orang yang dipenjara karena membuat keramaian. Untung Mbah Sukim tidak turut jadi pawang hujan di acara itu. Kalau turut serta, bisa pula ia ikut ditangkap.

Sekarang Mbah Sukim sering menyendiri di pojokan warung Nyak Ipah. Tampak mulai acap kehabisan rokok.

Pemasukan sampingan Mbah Sukim kini dari menafsirkan mimpi.

Tampak sesekali ada yang menyampiri Mbah Sukim. Menceritakan mimpinya. Lalu oleh Mbah Sukim mimpi-mimpi itu diterjemahkan menjadi angka-angka.

Tapi penghasilannya tak memadai, angka-angka itu biasanya hanya dibarter dengan beberapa bungkus Gudang Garam Merah. 

Kalaupun ada sertaan uang, jumlahnya tak banyak. Sekadar dapat untuk mencicil sebagian bon kopi pahit dan camilan singkong goreng di warung Nyak Ipah.

Dan lagi sudah makin sedikit yang meminta angka ke Mbah Sukim. Sebab angka-angkanya sering meleset. Mungkin yang membisikkan angka ke Mbah Sukim pun sudah mulai asal-asalan. Sebab kurang sajen.

Sulit untuk mengilmiahkan cara Mbah Sukim merumuskan angka-angka itu. Ia hanya tampak berkomat-kamit sebentar, sambil memegang salah satu batu akiknya. Lalu menuliskan angka-angka di balik kertas timah rokok. Langsung digulung dan diserahkan kepada yang meminta. Gulungan timah rokok tak boleh dibuka di situ. Juga tak boleh ada yang ditanyakan. Kata Mbah Sukim, "Kalau tidak percaya buang saja."

Bertolak belakang dengan pola seorang ahli matematika ketika mengurai algoritma. Bumi dan langit dengan metode Alan Turing ketika memecahkan kode Enigma. Cara yang dapat dinalar.

Sejak sepi order itu sudah dua cincin akik Mbah Sukim yang terjual. Batu akik yang kemarin berjejer memenuhi jari-jarinya, serupa Thanos, kini sisa tiga.

Batu mustika kelapa dibeli oleh Uni Roviet. Penjual nasi Padang. Katanya agar makanan di kedai Uni Roviet enggak cepat basi. Pembayaran harga batu langsung dipotong dengan catatan utang makan.
Batu Sulaiman dibayari Cecep Dakiri penjagal di rumah pemotongan sapi. Mau dipakai Cecep ketika sedang bekerja. Cecep sedang mencari cara agar sapi yang akan dipotong mau rebahan sendiri.

Ragam batu akik yang katanya memiliki kehebatan itu rupanya tidak cukup hebat menahan desakan kebutuhan hidup Mbah Sukim. Batu-batu akik itu tak kuat menahan gemuruh bunyi perut lapar. 

Banyak juga orang yang percaya dengan pola penerawangan ala Mbah Sukim. Ada yang menggelari Mbah Sukim dengan orang pintar.

Sayang Mbah Sukim tidak cukup pintar menerawang nasibnya sendiri. Ia tak dapat membaca arah perkembangan zaman. Mungkin karena rekan astral Mbah Sukim masih sezaman dengan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Dari zaman Majapahit. 

Harusnya ia cari yang generasi terbaru. Yang menyambung ketika diajak diskusi tentang Metaverse atau dream society. Agar Mbah Sukim dapat beradaptasi. Guna menjaga eksistensinya di zaman moderen ini.

Hal serupa ini sebelumnya pun sudah pernah dialami Mbah Sukim.

Nyai Rana mendiang istri Mbah Sukim semasa hidupnya berprofesi sebagai dukun beranak. Nyai Rana meninggal setahun menjelang reformasi.

Sejak pemerintah mencanangkan program Bidan Desa pasien bersalin di tempat Nyai Rana langsung berkurang. Yang tersisa hanya pasien lama. Atau bayi yang terlilit tali pusar dan lahir sungsang. Nyai Rana dikenal berpengalaman membantu persalinan seperti itu.

Terakhir, sejak datangnya dokter Larasati. Dokter muda Kepala Puskemas itu melarang warga melahirkan di tempat dukun beranak. Bahkan kebiasaan memijat perut ibu hamil pun tak ia bolehkan. Kata dokter Laras, "Tindakan itu berisiko untuk ibu hamil dan janinnya."

Perkembangan ilmu pengetahuan akan selalu membawa perubahan peradaban. Dan akan selalu ada profesi yang hilang. Seperti profesi Nyai Rana; dukun beranak.

Sejak Nyai Rana wafat, Mbah Sukim tinggal sendiri di pondok kecil di pinggiran kampung. Bila sudah malam penduduk kampung enggan lalu di dekat rumah Mbah Sukim. Cerita yang banyak beredar; dari dalam rumah malam-malam kadang kala terdengar seperti ada orang sedang mengobrol. Padahal gelap. Tak tampak ada lampu yang menyala.

Rumah besar Mbah Sukim yang di tengah kampung, tempat tinggalnya dulu dengan Nyai Rana sudah diambil alih oleh putra semata wayang Nyai Rana. Mbah Sukim tak pernah lagi datang ke rumah itu.

Mbah Sukim tak punya anak kandung. Tidak pula memiliki saudara kandung.  Mbah Sukim yatim piatu sejak kecil. Usia sepuluh tahun ibunya meninggal. Sejak itu Mbah Sukim menghilang dari kampung. Tak ada yang tahu kemana ia pergi.

Hampir dua puluh tahun kemudian Mbah Sukim muncul kembali di kampungnya. Ia tak pernah bercerita ke mana saja ia merantau. Mbah Sukim sosok tertutup. Irit bicara. Senyum pun seperlunya.

Tak lama setelah tiba kembali di kampung Mbah Sukim menikah dengan Nyai Rana. Janda beranak satu.



Sedikit yang tahu nama asli Mbah Sukim. Yang baru pertama kali mendengar nama itu biasanya akan mengernyitkan dahi. Lalu seksama menatap rupa Mbah Sukim. Sekilas roman muka itu mengomfirmasi.

Tahun 1942 tentara tentara Jepang masuk ke kampung Mbah Sukim. Ketika itulah ayah dan ibunya bertemu. Mbah Sukim lahir tahun 1943. 

Mbah Sukim tak mengenal wajah ayahnya. Belum genap berumur dua tahun ayahnya sudah pergi.

Setelah Amerika mengebom Kota Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945. Ayah Mbah Sukim balik ke kampungnya. Bayi kecil buah cintanya dengan gadis di pulau Jawa ia beri nama: Sundata Kimoto.

Beberapa hari lalu orang-orang di warung Nyak Ipah saling berpandangan. Tercengang melihat ke arah Mbah Sukim yang tiba-tiba tertawa lebar. Barisan giginya yang sudah coklat terlihat jelas. Ketika mereka sedang bersama-sama menonton Siaran Langsung MotoGP Mandalika. (All Amin)

Tags