News Breaking
Live
update

Breaking News

Presiden Malioboro Wafat, Kenangan Ebiet G Ade bersama Umbu Landu Paranggi

Presiden Malioboro Wafat, Kenangan Ebiet G Ade bersama Umbu Landu Paranggi

Foto: Robbi Gandamana



TanjakNews.com, Jogja -- Dunia sastra kembali kehilangan satu penyair hebat.   Umbu Landu Paranggi yang dikenal sebagai Presiden Penyair Malioboro, dikabarkan wafat dalam usia 77 tahun di Bali, Selasa (6/4/2021), dini hari.⁣ ⁣Umbu lahir di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 10 Agustus 1943.

Sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir  di Rumah Sakit (RS) Bali Mandara, Umbu sempat menjalani perawatan karena penyakitnya. Kabar kepergian Umbu ini disampaikan melalui akun Twitter Kenduri Cinta.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Duka kami, mengantarmu ke huma yang sejati Bapak Umbu Landu Paranggi Pada hari Selasa tanggal 6 April 2021 pukul 03.55 WITA di RS Bali Mandara. #MaiyahBerduka," cuit Kenduri Cinta.



Kabar duka juga disampaikan oleh sastrawan sekaligus kurator Bentara Budaya Bali, Warih Wisatsana melalui akun Facebook-nya.

"Sahabat kita, Bung Umbu Berpulang. Guru batin kami pamitan dini pagi tadi. Kawan-kawan yang berjaga di rumah sakit Bali Mandara mengabari, pukul 03.55 Wita. Mohon maaf dan perkenan doa teman-teman bagi Penyair rendah hati yang tulus ini, semoga lapang jalan pulangnya dalam naungan Kasih Sang Maha Indah," kata Warih Wisastana.

Semasa hidupnya, Umbu dijuluki sebagai 'Presiden Malioboro'. Dia telah melahirkan banyak karya sastra. Umbu lahir pada 10 Agustus 1943 di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Salah satu puisi Umbu


DOA

sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku

risau sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku

risau sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku

risau sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku

risau risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi

risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi

risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi

risau nyawaku bagi kau bekerjalah sunyi

Kauku


Umbu pernah menjadi redaktur puisi dan sastra di koran Mingguan Pelopor Yogyo, Jalan Malioboro, Yogyakarta. Ia juga mendirikan komunitas belajar sastra dan puisi yang diberinama Persada Klub.

Umbu juga merupakan sahabat dari guru Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Cak Nun juga bergabung dengan komunitas Persada. Cak Nun telah belajar banyak tentang sastra dari Umbu.


Ebiet G. Ade dan Umbu Landu Paranggi


Umbu juga dikenal sebagai guru bagi para penyair dan sejumlah sastrawan besar Indonesia. Alumnus jurusan Sosiatri, Fisipol UGM ini dikenal sebagai Presiden Malioboro.

Penyanyi penyair Ebiet G Ade juga dikenal lama bergaul dengan komunitas seniman Malioboro tahun 70an termasuk  bersahabat dekat dengan Umbu dan Emha Ainun Nadjib.  

Ebiet bercerita, "Tahun 1975, selepas SMA, saya lebih intens masuk ke wilayah kelompok seniman muda Jogja. Pada saat itu iklim berkesenian atmosfirnya sangat kental, terutama di sepanjang jalan Malioboro, seputar Seni-Sono dan tempat – tempat khusus lain, yang biasa dijadikan arena berkumpul para seniman-senima muda yang tengah berproses.

Di berbagai tempat, selalu terjadi diskusi kesenian yang berkembang hangat, argumentatif, selalu diselingi canda tawa, membuat suasana akrab dan cair. Masih melekat dalam ingatan saya, betapa  ngototnya Halim HD saat berdiskusi. Sulitnya menangkap kata-kata Linus Suryadi AG (alm), lengkingan suara Ragil Suwarna Pragolapati ( yang kelak hilang secara misterius di laut kidul). Dialek khas batak Ashadi Siregar dan Saur Hutabarat Modisnya pakaian Sutirman Eka Ardhana, kalemnya Arwan Tuti Artha dan Korrie Layun Rampan serta sesekali kelembutan suara Pak Umar Khayam.

Di ujung utara malioboro, di salah satu ruang kantor mingguan “Pelopor Yogya”, berkembang  kelompok sastra Persada Study Klub. PSK di gawangi Umbu Landu Paranggi, penyair kelahiran Sumba yang kemudian ditahbiskan sebagai “Presiden Malioboro” bersama Ragil Suwarna Pragolapati, dan para penyair lain. Anggotanya adalah para penyair, dan para “calon” penyair. Umbu adalah guru, inisiator, pembimbing sekaligus penyedia sarana tempat di”kantor”nya.

Atmosfir berkesenian terasa sangat kental mengikuti kemanapun ia mengayun langkah. Saya termasuk yang tersihir oleh suaranya yang bariton, ketika ia membaca puisi. Sayang kemudian seingat saya, sekitar tahun 1975, Umbu memutuskan untuk bermukim di Bali. (Oce Satria)

Tags