News Breaking
Live
update

Breaking News

Emmy Saelan Muda Pilih Melawan Dikepung Belanda

Emmy Saelan Muda Pilih Melawan Dikepung Belanda



TanjakNews.com, Historia -- Emmy Saelan adalah pahlawan perempuan asal Makassae. Ia pernah memimpin laskar wanita sekaligus memimpin palang merah di zaman perang kemerdekaan.

Perempuan muda pemberani ini lahir di Makassar, pada 15 oktober 1924, sebagai putri sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Amin Saelan, adalah tokoh pergerakan taman siswa di Makassar dan sekaligus penasehat organisasi pemuda. Sejak berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai ke telinga masyarakat Sulawesi gelora kemerdekaan menyebar di mana-mana.  Lalu pada 19 Agustus 1945 Pemerintah pusat menunjuk Dr. Sam Ratulangi sebagai gubernur provinsi Sulawesi. Belum juga membentuk pemerintahannya secara resmi di Sulawesi. Dr Sam Ratulangi malah ditangkap oleh Belanda pada bulan April 1946.

Pada bulan Juli 1946, 19 organisasi pemuda se-Sulawesi Selatan telah berkumpul di Polombankeng, sebuah daerah di Takalar, Sulawesi Selatan. Emmy Saelan dan adiknya, Maulwi Saelan, turut dalam pertemuan itu. Hadir pula pelajar-pelajar SMP Nasional seperti Wolter Monginsidi, Lambert Supit, Abdullah, Sirajuddin, dan lain-lain.

Salah satu kesepakatan dari konferensi organisasi pemuda itu adalah pembentukan sebuah wadah bernama Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Panglimanya adalah seorang pejuang pemberani, Ranggong Daeng Romo.

Lalu, seiring dengan semakin banyaknya senjata hasil rampasan, para pelajar SMP Nasional lalu membentuk organisasi gerilya bernama ‘Harimau Indonesia’. Emmy Saelan ditunjuk sebagai pimpinan laskar wanita dalam organisasi ini dan sekaligus memimpin Palang Merah.

Peran Emmy di laskar Harimau Indonesia yaitu memimpin laskar wanita, sekaligus bertugas di palang merah. Karena kulitnya yang putih, dia mendapat nama sandi Daéng Kébo. Menjadi laskar pejuang di usia teramat muda benar-benar membutuhkan keberanian besar. Mana kala di usia remaja kita lebih senang berjalan-jalan dan bersenda gurau. Sosok Emmy Saelan justru bergabung dengan perjuangan yang penuh mara bahaya.

Anggota laskar lainnya mengenang, bagaimana Emmy menentukan aturan menggunakan sandi untuk mengenal sesama pejuang. Misalnya jika dia memegang rambut dan orang yang ditemui juga memegang rambut, maka artinya orang itu adalah sesama teman pejuang. Takdir tak dapat ditolak. Tengah malam, di hutan kampung Kassi-Kassi di luar kota Makassar, tanggal 23 Januari 1947 adalah akhir hidup Emmy.

Ketika itu Emmy yang memimpin 40 orang sekaligus memimpin palang merah, terjebak dalam pertempuran. Pertempuran itu dikoordinasi Robert Wolter Mongisidi, yang kala itu sedang berada di kampung Tidung, tak jauh, namun terpisah dari lokasi Emmy. Karena terkepung dengan pasukan tank Belanda dan dihujani tembakan, Mongisidi memerintahkan anak buahnya untuk mundur.

Di saat yang sama di lokasi terpisah, Emmy yang juga membawa korban-korban luka, berusaha mundur. Tapi sudah terlambat. Kepungan begitu ketat. Persenjataan musuh jauh lebih kuat. Tak ada lagi ruang gerak bagi pejuang-pejuang muda yang bersenjata seadanya itu. Emmy semakin terdesak dan terkepung. 

Tentara Belanda berteriak padanya untuk segera menyerah Teman Emmy semua sudah gugur tertembak. Tinggal Emmy sendiri yang masih hidup. Perintah untuk menyerah tak digubris Emmy. Sebagai jawaban, dilemparkannya granat ke pasukan Belanda itu. Sejumlah tentara Belanda tewas karenanya. Namun Emmy juga akhirnya gugur oleh ledakan granatnya sendiri.

Nama Emmy Saelan terus abadi. Di makassar, ada sebuah jalan, yang dulunya rute gerilya Emmy, telah dinamai “Jalan Emmy Saelan”. Tidak hanya di Makassar, tetapi nama “Jalan Emmy Saelan” hampir terdapat di semua kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Lalu, sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya.(*)

sumber ; https://fsldk.id

Tags