News Breaking
Live
update

Breaking News

Membaca Mata

Membaca Mata




Oleh: All Amin

ADA penelitian: Lebih banyak orang yang takut berbicara di depan umum. Daripada takut ular.

Juga: Keterampilan berbicara di depan umum perannya sangat besar pada keberhasilan seseorang. Jauh lebih besar dari keterampilan lainnya. 

Juga: Terampil berbicara di depan umum. Merupakan syarat mutlak untuk bisa jadi orang berpengaruh.

Apakah penelitian itu benar-benar ada, atau tidak. Entahlah. Tapi, saya sepakat dengan ketiga hal itu. 

Memang tak mudah berbicara di depan umum. Apalagi untuk sampai pada kasta; pembicara yang menggugah. Banyak anak tangga yang mesti ditapaki menuju ke situ.

Mampu meyakinkan orang banyak. Tingkat lanjutan, dari kemampuan meyakinkan orang-perorang. 

"Bisa meyakinkan satu-satu, belum tentu bisa banyak. Bisa banyak, sudah pasti bisa satu-satu." Boleh percaya, boleh tidak pada teori ini.

Perhatikan orator-orator hebat itu. Pilihan kata-katanya. Intonasi. Mimik wajah. Gerak tubuh. Pertukaran emosi. Sapuan mata. Menjadi satu kesatuan yang memukau. Aksi mereka di panggung; menyihir. Mampu menyelam ke dalam pikiran banyak orang.

Panjang jalan untuk sampai ke sana. Pasti ratusan kali kerongkongan terasa mereka kering. Tangan berkeringat. Teks yang dihafal semalaman, tetiba lenyap semua dari otak. Detak jantung kencang sebelum naik panggung. Suara bergetar. Mendadak mules. Kebelet. Nanar. Berasa semua orang seperti sedang mencibir. Berburuk sangka kepada yang sedang berbisik. 




Itu di antara hal yang mesti dilalui. Proses menuju seperti mereka. Seperti sosok-sosok berpengaruh itu.

Tapi, banyak juga diuntungkan oleh keadaan. Melewati fase belajar berbicara di depan umum-nya tak berisiko tinggi. Pendengarnya mudah dikondisikan. Bisa disuruh diam. Masa latihannya tak rumit.

Misalnya: Guru, murid-muridnya bisa dipelototi, kalau tak tertib mendengar. 

Pejabat, kalau pun salah bicara, retorikanya membosankan, tak ada yang berani komplain. 

Atau; orang kaya, ngoceh tak nyambung pun, bisa membuat orang bertepuk tangan.

Saya kebagian jalan terjal di awal. Belajar bicara di depan umum dari posisi minus tiga. Jadi salesman. Seperti yang jualan panci di arisan ibu-ibu itu. Sedikit yang sudi mendengar salesman cuap-cuap. Latihannya menyakitkan.

Sulit pertama; minta waktu bicara saja susahnya bukan main. Sebelum ketemu ibu-ibu RT itu, sering melewati gonggongan anjing dulu. Atau membelikan satpam rokok, agar diizinkan bertemu pengurus Darmawanita.

Sulit kedua; harus tampil menarik, agar bisa mengendalikan puluhan emak-emak pehobi ngerumpi dalam arisan itu. Tidak laku hafalan menghadapi situasi seperti itu.

Dan, sulit ketiga; dagangan harus terjual.

Begitulah. 

Tapi, artikel ini tidak untuk mengajak Anda belajar menjadi pembicara publik. Kalau Anda rasa itu tak penting; tak usahlah. Belajarnya susah.

Kadang mesti separo gila. Bicara sendiri--sambil senyum sendiri--di muka cermin. Latihan menahan pandangan mata pada satu titik. Macam-macamlah.

Itu semua wajib dilalui. Tidak bisa tidak. Karena presentasi itu ilmu praktik. Tak bisa hanya belajar teori.

Monggo baca seabrek teori tentang bicara di depan umum. Tetap saja ketika baru memulai; peluh dingin Anda akan mengucur deras.

Saya menulis ini, untuk mengajak; mari kita menjadi pendengar yang baik. Ketika di depan ada orang yang sedang berpidato.

Saya kadang miris, melihat yang asyik ngobrol ketika di depannya ada yang sedang ceramah. Tak menghargai.

Mungkin mereka belum paham, bagaimana payahnya menjaga konsentrasi saat berbicara di depan orang banyak itu. 

Pembicara itu sendirian di depan. Menghadapi banyak sorotan mata. Kalau ia belum terbiasa; bisa jadi lututnya gemetar. 

Di antara cara menghargai pembicara itu; berempatilah mendengarkannya. 

Tampak fokus. Senyum tipis saat beradu pandang. Sedikit anggukan pada pernyataan tertentu. Bentuk dukungan kita, pendengar. Kepada pembicara.

Biasanya pembicara akan melihatnya dari depan. Dan, sering mengunci pandangannya pada orang itu. Karena itu menyemangatkan.

Sebab, kalau pembicara melihat kepada yang asyik ngobrol itu. Yang sibuk memainkan henpon. Atau yang ketiduran. Otaknya bisa korsleting. Materinya bisa hilang. 

Model pendengar seperti itu; terasa menggangu bagi pembicara. Pun bagi orang sekitar yang fokus mendengarkan.

Menggangu. Mau menegur; sungkan. 

Mari kita sama-sama latihan mendengarkan.
Menghormati yang sedang bicara di depan.

Di masa Covid-19 ini. Bila bisa, saya memilih membuka masker saat mendengarkan ceramah. Agar pembicara dapat melihat raut muka. 

Pandemi ini pun berdampak pada pembicara publik. Persoalan kontemporer. 

Tak mudah berbicara di depan orang yang wajahnya tertutup. Efektivitas komunikasinya sulit diukur. Hanya bisa diraba-raba. Sulit menerka ekspresi di balik masker itu; tersenyum atau mencibir. Rupanya tak mudah, kalau hanya membaca mata. (*)

Tags