Negosiator Pasrah
Negosiator Pasrah
Oleh: All Amin
Saya punya tiga buku tentang negosiasi. Kalau ditumpuk setinggi bantal. Dulu sering dibawa tidur. Dibuka satu dua halaman. Lalu ketiduran.
Kini sisa satu. Dua terendam banjir. Karena ada got yang ditutup oleh proyek kereta api cepat yang dari Cina itu. Ops, tak sengaja tertutup. Dan, mereka sudah berjanji akan membuatkan sodetan. Berjanjinya sudah lama. Tapi, entah kapan jadinya.
Untunglah dulu buku-buku itu, pernah saya tarok dekat kepala, menjelang tidur.
Buku-buku itu mengajarkan kiat, bagaimana dalam setiap negosiasi itu, harus menang. Tapi, lawannya tidak boleh merasa kalah.
Rumit, kan.
Makanya saya sering ketiduran membacanya.
Makanya saya sering ketiduran membacanya.
Di buku itu dijelaskan detail; bagaimana cara menyapa, cara duduk, cara berdiri, tatapan mata, miring kepala, miring badan, mengatur tarikan nafas, memilih kata-kata, bukaan bibir saat tersenyum, menyamakan frekuensi, kekuatan genggaman tangan saat salaman, membuat lawan bicara nyaman, cara menolak, teknik mengunci transaksi, dan banyak lagi.
Untuk satu tujuan; menang. Deal.
Artinya; semua rencana tercapai.
Artinya; semua rencana tercapai.
Ketika negosiasinya dirasa gagal. Saya balik lagi ke buku-buku itu. Bagian mana yang salah baca. Atau, belum terbaca. Atau, salah mempraktikkan.
Tapi, itu dulu. Ketika buku itu masih tiga.
Kini, tak lagi begitu. Sudah diubah.
Kiat-kiatnya sebagian masih saya terapkan. Terlanjur melekat. Tak ada yang salah dari kemampuan itu. Baik untuk membangun relationship. Meningkatkan kualitas hablum minannas.
Yang diubah; prinsip harus menang itu.
Menganggap menang. Tujuan tercapai; satu-satunya yang terbaik. Sukses.
Kalau tidak sepakat; gagal. Dan, itu dianggap buruk. Stress.
Mengapa?
Karena sudah menukar bacaan.
Ada yang selama ini jarang saya baca. Lebih jarang dari buku negosiasi itu. Yakni; Alquran.
Terletak indah di tengah rumah. Jarang--bahkan sangat jarang dibuka. Lebih berfungsi sebagai pajangan. Agar tampak identitas Islamnya. Semoga Allah mengampuni.
Dulu saya menganggap keren itu; bila membaca koran tiap pagi. Mendapatkan update informasi. Membuka wawasan.
Kini, dua koran langganan sudah dihentikan. Bisa fokus mengganti bacaan di pagi hari. Mengalihkan koran ke Alquran.
Dalam Alquran, ada ayat yang bunyi terjemahannya begini;
Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah; 216)
Oleh guru-guru saya, dijelaskan tafsirannya;
Bahwa takdir Allah itu selalu yang terbaik. Pasti itu yang terbaik untuk kita. Allah Maha Tahu. Kita merasa tidak suka, karena tidak mengerti. Bodoh.
Menguasai ilmu bernegosiasi dan melakukan yang terbaik. Sebagai ikhitiar; perlu.
Kemampuan melihat apa yang dianggap gagal, sebagai takdir Allah yang terbaik; jauh lebih perlu.
Penawaran ditolak. Padahal sudah merasa menyajikan yang terbaik. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Kesepakatan dibatalkan sepihak. Padahal sudah terlanjur keluar uang banyak. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Bisnis baru mulai. Tiba-tiba berhenti, karena ada Covid-19. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Menyiapkan ruang "kalah" dalam hati di awal. Sebelum mulai. Akan lebih melegakan. Lebih nyaman.
Memaksakan diri mesti selalu menang. Lalu menghalalkan segala cara. Berpikir kalau kalah itu; pasti buruk. Sungguh melelahkan. Lelah di awal. Lelah di tengah. Apalagi di akhir. Ketika menghadapi kenyataan; kalah. Berat.
Bisa-bisa salah lihat, racun serangga dikira softdrink. Salah hitung ketinggian gedung. Main loncat saja; mati.
Ya, begitulah.
Bisa jadi kita tak sepakat. Dan, tak perlu juga kita berdebat. Kita tidak sedang bernegosiasi.
Buat saya; bernegosiasi itu tak mesti selalu menang. Tidak sepakat pun--bisa jadi itu kemenangan. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Kiat-kiat beradaptasi, seperti ungkapan;
"Piye kabare, Mas?"
"Matur sukseme, Bli."
"Bujur banar Pian pak ai."
"Lama torang ndak batamu, Ngana."
"Kumaha Teteh wae lah."
"Matur sukseme, Bli."
"Bujur banar Pian pak ai."
"Lama torang ndak batamu, Ngana."
"Kumaha Teteh wae lah."
Terus saya gunakan. Kecuali, ketika bertemu bule. Saya konsisten, berbahasa Indonesia saja. Demi nasionalisme. (All Amin)

