Catatan Indra Gusnady: Pilkada dan Corona
PILKADA dan Corona, boleh dikata dua 'makhluk paling seksi' dibicarakan di beberapa daerah di Sumatera Barat yang akan melaksanakan proses Pilkada-nya tahun 2020. Namun, riuh-rendah pilkada seakan-akan tenggelam oleh makhluk lebih kecil dari 'tungau' ini. Membicarakan pilkada dengan segala pernak-perniknya, tidak begitu lebih menarik dibandingkan dengan berita corona (Covid-19).
Meskipun demikian, pandemi Covid-19, memberikan sesuatu yang positif bagi para pelaku pilkada dan masyarakat di daerah. Berikut ulasannya.
Bagi tokoh yang telah merasa siap menjadi pasangan bakal calon kepala daerah (balon kada), mendapatkan keuntungan sendiri, setidaknya 'amunisi' yang disiapkan bisa tersimpan dahulu. Tidak banyak biaya yang digunakan untuk baliho, kaos, 'tim hoyak' dan sebagainya.
Bagi yang belum siap 'amunisi', masih tersedia waktu untuk mencari-cari sponsor dan 'kapal' yang akan diajak berlayar. Sedangkan yang mencoba jalur 'independen', ada kesempatan untuk melakukan pendekatan, mencari simpati dan dukungan masyarakat sebesar-besarnya, ketika balon yang akan diusung partai sedang berusaha menahan diri.
Bagi petahana akan diuntungkan, melalui program percepatan penanganan penyebaran Covid-19 di daerah. Tergantung sejauh mana petahana melihat ini sebagai peluang mengangkat pamornya di tengah masyarakat. Tidak ada persoalannya sebenarnya, di sinilah kepemimpinannya sedang teruji sejauhmana bisa responsif terhadap kebutuhan rakyat di masa sulit. Masyarakat akan memberikan penilaian tersendiri.
Di samping apa yang telah disampaikan di atas, ada persoalan mendasar yang menarik untuk dicermati dan perlu disikapi balon kada. Pandemi Covid-19 ini memperlihatkan kepada kita semua, bahwa angka-angka statistik kemajuan daerah yang selalu enak untuk dipandang, ternyata kondisi riil sangat berbeda dengan kondisi di lapangan.
Sebut saja, angka-angka statistik di daerah yang sebagian besar menyatakan angka kemiskinan di bawah dua digit (9%) misalnya, berbeda sekali kondisi di lapangan. Ketika 1-2 bulan saja PSBB diberlakukan, lebih dari 50 persen masyarakat menjadi miskin, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk sembako saja. Artinya, indikator kemiskinan yang dibuat terlalu rapuh, tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya, terlepas dari metode apa yang digunakan.
Apalagi kita berbicara tentang pengangguran di daerah yang meningkat drastis selama pandemi. Berapa banyak kepala keluarga yang bekerja di sektor informal yang terganggu atau bahkan tidak bekerja U selama beberapa bulan selama PSBB diberlakukan. Terutama, masyarakat yang bekerja di lapangan usaha transportasi, perdagangan, hotel, restoran, keuangan dan jasa.
Untuk sektor pertanian, barangkali para petani kecil yang tidak begitu terpengaruh di masa pandemi Covid-19 ini. Kebutuhan masyarakat terhadap beras, sayur dan buah-buahan tidak berkurang bahkan cenderung meningkat. Akan tetapi, masyarakat yang bergerak di lapangan usaha pengolahan hasil pertanian/peternakan (agribisnis), terkena dampaknya karena permintaan pasar yang menurun. Masyarakat lebih mengutamakan membeli kebutuhan pokok dan yang penting-penting saja.
Kekurangsiapan organisasi perangkat daerah (OPD) di bidang kesehatan dan penanganan bencana, baik secara personel, sistem dan peralatan, terlihat dalam penanganan cmCovid-19 selama masa pandemi ini. Termasuk dalam hal promosi kesehatan dan sosialisasi perilaku hidup sehat di tengah-tengah masyarakat.
Balon kada yang jeli, bisa melihat kondisi ini sebagai bagian yang bisa dijual. Menyusun visi-misi dan program yang berorientasi kebutuhan masyarakat dan kondisi riil daerah selama masa pandemi Covid-19.
Tidak masa lagi bagi balon kada menyusun visi-misi dan program yang melangit, membagun 'ikon' atau gedung/bangunan yang asas kemanfaatan tidak begitu dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Alhasil, hanya akan menjadi 'monumen abadi' baru di daerah. Atau sebaliknya, punya program-program muluk-muluk pro-ekonomi kerakyatan dari awal, tapi masyarakat tidak merasakan. 'Lengang' saja. Bisa saja diberikan pembenaran dengan alasan aturan tidak memungkinkan. Semestinya dikaji dulu aspek aturan penganggaran sebelum dijadikan program unggulan.
Saya berkeyakinan, berkaca dari kondisi yang dialami selama pandemi Covid-19 berlangsung, masyarakat akan lebih cerdas membaca visi-misi, program unggulan yang ditawarkan oleh balon kada peserta pilkada. Tidak tergiur dengan 1-2 lembar uang seratus ribu, tapi penanggungannya selama 5 tahun. Sesal kemudian tiada guna.
Jadilah pemilih cerdas, ambil uangnya tapi pilihlahlah balon kada yang mempunyai visi-misi dan program yang realistis (tidak muluk-muluk), yang benar-benar dibutuhkan, nyata bermanfaat bagi masyarakat dan daerah.
Menuju PILKADA yang berkualitas!
--------------
Padang Panjang, 5 Juni 2020
Indra Gusnady

