News Breaking
Live
update

Breaking News

Bincang Hukum: LPSK Akui Kesulitan Lindungi Aktivis HAM dari Kriminalisasi

Bincang Hukum: LPSK Akui Kesulitan Lindungi Aktivis HAM dari Kriminalisasi

Tangkapan layar bincang hukum secara daring bertajuk Perlindungan Hukum Pembela HAM dan Environmental Defender, Senin siang.
TANJAKNEWS.COM, Pekanbaru -- Wakil Ketua Internal Komnas HAM, Hairansyah menuturkan praktik perlindungan hukum terhadap aktivis pembela HAM hampir tidak ada. Malahan serangan terhadap aktivis pembela HAM makin masif.

"Artinya ancaman semakin nyata dan konkrit. Ancaman terhadap pembela HAM sangat banyak mulai dari pembunuhan, penculikan, teror, intimidasi, pelecehan seksual, dan kriminalisasi," tuturnya saat berbicara dalam acara bincang hukum secara daring bertajuk Perlindungan Hukum Pembela HAM dan Environmental Defender, Senin (18/5/2020).

Bincang hukum ini diselenggarakan YLBHI, LBH Pers, Auriga, dan Greenpeace melalui Zoom Webinar Senin siang mulai pukul 13.00 hingga 15.00 WIB

Dari diskusi daring tersebut tak dipungkiri bahwa selama ini aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) kerap dikriminalisasi banyak pihak, termasuk aparat penegak hukum.

Sebagai fakta misalnya, Ravio Patra, aktivis yang kerap mengkritisi kebijakan pemerintah, ditangkap polisi. Diananta, jurnalis Banjarhits.id kini pun sama, karena berita kritis terhadap pertambangan yang disiarkannya. Di Kendari, mahasiswa ditebas, setelah demo menolak tambang. Bahkan, Golfrid Siregar harus meregang nyawa setelah ditabrak lari, diduga karena kritisinya terhadap pembangkit listrik yang merusak habitat orangutan.

Kekerasan terhadap masyarakat sipil pembela lingkungan (environmental defender) dan pembela HAM tampaknya memang sedang meninggi. Pada 2014-2019, setidaknya 38 kejadian kekerasan terhadap pembela lingkungan. 

Pengalaman diceritakan,  mantan vokalis “Banda Neira”, Ananda Badudu. Ia tidak menyangka jika keresahannya melihat aksi kekerasan di Papua dan apa yang disebutnya sebagai “upaya pelemahan KPK” lewat serangkaian cuitan di Twitter dengan tagar #ReformasiDikorupsi akan berbuntut panjang. Tragisnya, kata Ananda Badudu, ia kemudian dikaitkan dengan aliran dana pada para pengunjukrasa dalam aksi demonstrasi yang berakhir ricuh pada 24 September 2019. 

Buntutnya, tga hari setelah demonstrasi itu ia diperiksa di Polda Metro Jaya sebagai saksi perkara aliran dana. Belakangan ia dilepas polisi.

Musisi yang kemudian menjadi aktivis demokrasi ini menceritakan tentang minimnya perlindungan terhadap aktivis seperti dirinya. Bahkan lembaga negara seperti Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menurutnya kurang proaktif dalam melindungi para aktivis ketika dikriminalisasi oleh banyak pihak, termasuk aparat penegak hukum.

Ananda Badudu saat dibebaskan

"Itu sangat minim dirasakan. Pendekatan yang responsif itu diperlukan karena kekerasan dan represi datang dengan menabrak aturan. Tak mungkin dihadapi dengan pendekatan birokratis," kata Ananda.

Sebagai lembaga yang dibentuk atas amanat undang-undang, Komnas HAM dan LPSK semestinya harus berani pasang badan melindungi para aktivis, terutama ketika mereka merasa dihantui beragam ancaman; mulai dari penangkapan, serangan buzzer, Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik ITE hingga teror. Menurut Ananda, ancaman-ancaman tersebut menimbulkan ketakutan bagi para aktivis pembela HA

"Sumber rasa takut itu berasal dari ancaman-ancaman yang ada berdasarkan pengalaman pribadi, dan teman-teman merasakan langsung. Lalu, ada berbagai kasus penangkapan. Itu jadi suatu tekanan psikologis bagi siapa pun yang tergerak di bidang sosial politik. Ancaman-ancaman itu bermuara pada satu hal yaitu membuat rasa takut," ungkapnya.


Studi HRSF & Tifa Foundation

Sementara itu, Studi yang dilakukan Human Rights Support Facilities HRSF dan Tifa Foundation tahun ini menemukan fakta  adanya sejumlah kebijakan perundang-undangan yang menunjukkan bentuk perlawanan kepada upaya perlindungan bagi aktivis HAM dan lingkungan.

Dalam laporan itu dibeberkan   peluang dan hambatan perlindungan dalam perundang-undangan ditemukan hampir di semua basis hak-hak pembela HAM seperti hak atas informasi, hak atas berpendapat, hak atas turut serta dalam sistem pemerintahan, hak atas pemulihan, hak atas berkumpul, hak atas berserikat atau berorganisasi, hak atas pengakuan, hak atas sumber daya.”

Pesimisme mengapung atas fakta sedikitnya aturan yang  memberi jaminan secara spesifik. "Kecuali dalam UU Pers. Namun seiring berjalannya waktu dan dinamika politik Indonesia, tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan positif di masa depan," papar studi yang dilakukan Human Rights Support Facilities HRSF dan Tifa Foundation tersebut.

Menjawab kegelisahan aktivis HAM, Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias yang ikut bicara  dalam bincang hukum virtual itu mengakui ada tantangan yang dihadapi lembaganya ketika hendak memberi perlindungan pada aktivis HAM dan lingkungan.

"Seringkali kasusnya tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Kemudian penegak hukum tidak mau menerima laporan mereka. Sementara LPSK ini bekerjanya untuk proses penegakan hukum tindakan pidana. Kalau tidak ada tindak pidana yang diungkap kami enggak bisa memberikan perlindungan," akunya.

Diungkapkannya, LPSK mengalami kesulitan untuk mendampingi para aktivis ketika dikriminalisasi, karena perbedaan persepsi di dalam LPSK sendiri tentang perlindungan para para aktivis.

"Sering kali dalam proses pengambilan keputusan kami tidak bulat. Tidak semua persepsi pimpinan itu sama jadi itu salah satu masalah," ujar Susilaningtias. (Oce Satria)

Tags