News Breaking
Live
update

Breaking News

Asosiasi Dosen Hukum Kutuk Dugaan Teror Diskusi "Pemecatan Presiden" HTN FH UGM

Asosiasi Dosen Hukum Kutuk Dugaan Teror Diskusi "Pemecatan Presiden" HTN FH UGM

Aditya Hilmawan, Mahasiswa Fakultas Hukum UGM. [foto : https://instagram.com/adityul]


TANJAKNEWS.com, Yogyakarta -- Diskusi 'pemecatan Presiden' yang digagas Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) batal digelar. Diskusi itu awalnya berlangsung secara virtual via aplikasi Zoom. Menghadirkan pembicara Guru Besar Tata Negara UII Prof Dr Nimatul Huda dan berlangsung Jumat (29/5/2020) pukul 14.00-16.00 WIB.

Zainal Arifin Mochtar, salah satu pengajar di Fakultas Hukum UGM, membenarkan pembatalan acara diskusi itu. "Sudah dibatalkan sama anak-anak itu, karena ketakutan kena teror," ujar Zainal. 

Zainal tak menyebut secara spesifik teror yang dimaksud dan direrima oleh mahasiswanya. 

Diskusi yang digelar Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menuai polemik. Sedianya diskusi dengan tajuk awal 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' itu akan digelar pada Jumat (29/5/2020) secara virtual. Namun belakangan, tajuk diskusi diganti menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.

Sementara itu Presiden Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Aditya Halimawan menyampaikan, bahwa agenda diskusi yang sempat direncanakan akan digelar siang tadi yakni Diskusi dan Silaturrahmi Bersama Negarawan (DILAWAN), batal.

“Saya selaku Presiden CLS FH UGM ingin menyampaikan bahwa DILAWAN 1 yang akan dilaksanakan pukul 14.00 WIB nanti dibatalkan. Mohon untuk disebarluaskan kawan-kawan,” kata Aditya, Jumat (29/5/2020).

Ia menyampaikan pihaknya belum bersedia menyampaikan alasan pasti mengapa agenda diskusi tersebut dibatalkan. Namun ia berjanji akan menjelaskan detailnya setelah situasi dirasakannya sudah kondusif.

“Kronologi seluruh kejadian akan kami terbitkan nanti, setelah suasana kondusif. Mohon maaf teman-teman sekalian,” ujarnya.

Sementara itu, akun instagram CLS FH UGM menjelaskan bahwa memang ada kesalahan redaksional yang dibuat di dalam publikasi kegiatan. Dimana diksi yang dipakai sebelumnya adalah “pemecatan”. Diksi inilah yang dirasa menjadi gaduh di kalangan masyarakat dan menimbulkan multi tafsir.

Kemudian pihaknya mengubah diksinya menjadi “pemberhentian”, namun situasi masih belum mereda hingga akhirnya keputusan organisasi adalah membatalkan kegiatan yang rencananya akan diisi oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Nimatul Huda itu.

Mereka juga membantah materi diskusi yang sempat akan dibawakan itu berkaitan dengan agenda makar.

“Kami ingin meminta maaf sekaligus meluruskan terkait berita tidak benar yang beredar diberbagai sosial media soal gerakan makar,” tulis @clsfhugm.

Dijelaskan oleh mereka, bahwa substansi diskusi yang akan dibahas yaitu mengenai mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden, sejarah dan perjalanan pemakzulan Presiden dan/ atau Wakil presiden, dan penyampaian kepada publik bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat dilakukan pemberhentian karena hukum, bukan seperti dahulu yang merupakan keputusan politik. 


Para Dosen HTN Keluarkan Pernyataan Sikap


Berikut pernyataan sikap tersebut:

Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara  (APHTN-HAN), Asosuasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), Kaukus Indonesia  untuk Kebebasan Akademik (KIKA), dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum   DOSEN Indonesia (ADPHI)

MENGUTUK KERAS TINDAKAN TEROR TERHADAP INSAN AKADEMIK & PENYELENGGARAAN DISKUSI DI JOGJAKARTA

Kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik. Kebebasan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai sistem hukum Hak Asasi Manusia universal yang diakui dan dilindungi keberadaannya di Indonesia. 

Hal tersebut dituangkan dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Terlebih di dalam dunia akademis, kebebasan berpendapat itu semakin dilindungi dengan adanya konsep kebebasan akademik, yang secara tegas diakui oleh negara yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 8 ayat (1) menyatakan: 

“Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.” Kebebasan Akademik juga diakui dan dihormati secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum (Bologna, 18 September 1988).

Namun dewasa ini, tekanan terhadap kebebasan akademik masih menyisakan persoalan yang rumit. Kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mengemukakan pemikirannya masih saja mendapat perlawanan dari berbagai pihak. 

Salah satunya adalah tindakan intimidasi yang dilakukan oleh oknum tertentu kepada panitia penyelenggara kegiatan Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) yang diselenggarakan kelompok studi mahasiswa “Constitutional Law Society” Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 29 Mei 2020. 

Dalam peristiwa ini, panitia yang keseluruhannya merupakan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengalami tindakan intimidasi dan ancaman verbal untuk mengubah judul kegiatannya, yang pada awalnya bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan,” hingga berujung pada pembatalan kegiatan. 

Menanggapi hal tersebut, Kami, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), ), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia (ADPHI), menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mengutuk keras segala bentuk tindakan intimidasi dan ancaman yang dilakukan kepada penyelenggara kegiatan diskusi akademik yang di selenggarakan oleh kalangan civitas akademika;

2. Menuntut adanya kebebasan akademik penuh sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi dan Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik, terutama Prinsip ke- 4: Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan; serta Prinsip ke-5: Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik;

3. Meminta pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, untuk melindungi segala bentuk kegiatan akademik yang diselenggarakan civitas akademika sebagai bagian dari kebebasan akademik penuh. 

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, sebagai bentuk perlawanan kami terhadap setiap tindakan yang bertujuan melemahkan dunia akademik Indonesia dan juga sebagai seruan kepada seluruh civitas akademika di Indonesia untuk tidak takut dan terus menyuarakan kebenaran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa terus memberikan keselamatan bagi negeri ini dan dunia pendidikannya. 

Jakarta, 29 Mei 2020

1. Prof. Susi Dwi Harijanti: 
2. Zainal Arifin Mochtar: 
3. Herlambang P. Wiratraman: 
4. Charles Simabura: 
5. Widodo Dwi Putro.



Editor: Oce Satria


Tags